Inilah Hidup..!! Tanpa Sepatah Kata

hidup tanpa sepatah kata

hidup tanpa sepatah kata

Di jalan Godean seorang pencopet tertangkap basah mencuri sebuah handphone. Ia dihakimi massa hingga babak belur, tak sempat mengucapkan sepatah kata. Wajah garang para pengeroyok dan keberingasan mereka laksana wajah dan sifat kiriman dari para iblis di negeri seberang. Sebagian dari mereka memukul dengan tangan kosong, menendang, meludahi, dan mengatakan apapun yang sempat terpikir oleh mereka. Sebagian lagi menyakiti dengan menggunakan apa saja yang bisa ditemukan di sekitarnya, seluruh benda berubah fungsi menjadi alat untuk menyakiti dan mampu menjadi penyalur uneg-uneg keji yang lama tersimpan yang mungkin tak ada hubungan emosi secara imparsial dengan orang yang ada di depan mereka. Mereka menggunakan batu, material bangunan, potongan besi, potongan kayu, palang umbul-umbul, melemparkan botol  dan lain-lain secara membabi buta.

Pemandangan di depanku itu tak lebih baik daripada sebuah film brutal dengan sutradara tanpa hati. Barangkali mungkin setara atau melebihi adengan film-film hasil besutan Rob Zombie. Tapi aku sadar bahwa ini adalah kenyataan, alam seperti berbisik mengungkap bahwa semua itu memiliki obyek riil dengan aktor utama adalah sang pencopet. Sedang langit tak berkedip bahwa itulah takdir dan memang harus begitu adanya.  Kalau ini film, tentu sutradara telah menyeting bahwa sang pencopet  bukanlah anak manusia, lebih tepatnya ia adalah alien yang berbahaya.

Jadilah hari ini, berjalan dan mengalir saja meskipun tak ada sutradara di sini. Lihatlah dia, diperlakukan seolah-olah dia bukan dilahirkan oleh seorang ibu dari rahim yang dirawat selama sembilan bulan lebih. Tak ada yang membayangkan bahwa dulu ia, sama seperti kita dan sama seperti orang-orang bringas itu, pernah menjadi anak kecil, pernah ditimang-timang dan dibesarkan selama bertahun-tahun atau beratus-ratus hari. Bayangkan, beratus-ratus hari, dan karena satu hari ini, ia sudah bukan satu di antara kita lagi. Tak ada pula yang membayangkan bagaimana perasaan ibundanya melihat buah hatinya dan ia tahu anaknya diperlakukan seperti itu. Bagaimana pula jika orang itu ternyata punya anak, istri atau saudara-saudara di tempat lain? Bagaimana menggambarkan seorang istri yang sedang menunggu kedatangannya dengan segelas teh manis panas?  Ah.., teh itu akan menjadi dingin lalu terbuang dan perasaan itu akan lebur di jurang kehancuran.

Ketika aku dan beberapa orang mencoba melerai, beberapa diantara mereka dengan kayunya dan dengan mata melotot berpaling ke arahku penuh tanya, benda-benda dengan bercak merah itu ikut  menoleh seolah merasa terganggu dengan aktifitas mautnya. Pandangan yang hanya dalam beberapa detik, seperti sebuah kilas balik yang dalam film hanya berupa detik jeda pada transisi sebuah situasi ke situasi yang lain. Terhenti sejenak, lalu kembali keaksi barbarnya, dengan kekuatan penuh dan kecepatan sebagai hasil adopsi perbuatan para iblis. Terasa juga tatapan mata mereka yang beberapa detik itu ternyata tiba-tiba membuat darah tersirap dan perasaan dialiri gumpalan ketakukan seketika. Nyaliku ciut, mendepak gelarku sebagai seorang laki-laki. Tak banyak yang dapat aku perbuat saat itu. Hanya melihat tetesan darah dan mendengar gebukan demi gebukan. Sesekali dengan tak sengaja aku sempat bertatapan dengan si pencopet, pria setengah baya, rambut lurus, kulit cenderung legam. Darahku dingin di sekujur aorta, dan kepalaku penuh dengan lukisan-lukisan melayang, mencoba menggambarkan tentang apa yang ada di balik pelupuk matanya. Aku tak mampu menangkap silhuet yang merupakan gambaran dari apa yang dirasakannya. Aku terbawa ke arus rasa getir, ngilu, dan tubuhku tiba-tiba serasa ikut sakit hingga kesetiap sendi-sendiku. Terbayang wajah istrinya, anaknya atau ibu yang telah melahirkannya, tergambarkan pula wajah ibuku, ayahku, saudaraku, istriku, seandai mereka melihatku dan mengetahui aku adalah dia. Membayangkan perasaan mereka dan beribu-ribu perasaan lain, aku rasa aku harus lari dari sini, tapi kakiku terpaku di aspal panas dan tak bergeming. Dan mataku masih tertuju ke situ.

Lalu kenapa mereka begitu? Itulah, dan seperti biasa aku selalu bersifat imparsial demi melihat dari segala sisi. Sulit menyalahkan para pengeroyok itu secara utuh. Yang kuingat gambaran kejadian di Jalan Kaliurang, di sebuah toko handphone, yang juga kusaksikan sendiri, emosi masyarakat tampaknya semakin hari semakin meningkat, mungkin selain karena ekonomi, juga faktor psikologis di mana mereka geram karena mereka sering mendengar, bahwa selain merampok, para penjahat itu juga sering melakukan perbuatan keji. Di jalan Kaliurang itu, para perampok itu bahkan menyayat leher korban.  Berita semacam ini sudah banyak, sudah biasa,  dan kita tidak menyadari itu semua bagai gumpalan bola salju di hati kita. Ia akan tumbuh menjadi pemicu yang semakin hari menjadi semakin besar dan berbahaya, suatu hari kelak siap meledak menjadikan kita bringas dan tidak lagi mengenal satu sama lain.

Alangkah sulit membayangkan kejadian-kejadian terakhir ini dan melupakan apa yang telah diperbuat para makhluk ciptaan Tuhan yang katanya derajatnya paling tinggi di muka bumi ini. Dan aku tiba-tiba ingin protes pada Tuhan, yang tak kunjung mengirim para polisi. Aku duduk termenung memandangi gerombolan itu dan aktifitasnya. Jadi teringatlah kata-kata Kahlil Gibran : Karena tidak ada sehelai daun yang dapat menguning tanpa sepengetahuan seluruh pohon – meski ia tetap diam, demikian pula si salah tak dapat berbuat salah, tanpa keinginan nafsu sekalian umat manusia – walaupun terpendam. Keadilan tidak dapat serta-merta dipisahkan dari kezaliman, begitu pula kebaikan dan kejahatan. Keduanya sama-sama tergelar di hadapan wajah matahari, sebagaimana benang tenun hitam dan putih suci bersama menganyam selembar kain. Sekali benang yang hitam terputus, maka seluruh peralatan tenun akan diperiksa. Apabila kalian hendak menghukum perempuan zina (orang bersalah), maka sertakanlah hati ayah-ibunya sebagai anak timbangan dan jiwa suaminya sebagai pita ukuran. Dan apabila seorang akan menjatuhkan pidana atas nama hukum demi tegaknya keadilan, ketika mengayunkan kapak ke batang pohon yang dihinggapi setan, hendaklah dia melihat dahulu akar pohon itu – dan di sana ia akan mengetahui akar yang masih baik, akar yang sudah buruk, akar yang masih mengandung harapan serta akar yang sia-sia dan hanya berisi kemandulan.

Dari catatan dan blog lamaku…

From : www.maryati.net

Sekedip Mata lainnya :

Olenka, Si Matahari Pagi
Olenka, Si Matahari Senja
Olenka, Untuk Tiga Tahun
Olenka, Rinduku Seabad
Senja, Kenangan Dan Aku

Jemari Tuhan Dan Sang Waktu

 

Bangsal, di Lorong Pilihan Yang Menentukan

line twilight

Bangsal
Berbincanglah seorang ayah, seorang ibu dan seorang anak gadis berumur 14 tahun. Gadis belia itu mengidap kanker, perutnya amat besar, meluluh-lantakkan hati setiap orang yang melihatnya. Tapi mereka menempa kesabaran di tengah kesadaran, kesadaran akan ketidak mampuan, dan kesadaran harus berpengharapan. Kesabaran, sepatah kata yang menyakitkan jika dipakai untuk menunggu penanganan medis di tengah garis tipis antara kesakitan dan ketakutan atau ditengah garis tipis antara kehidupan dan kematian. Pengharapan? Sudah habis di terbangkan pada doa-doa panjang dan alas kemiskinan!

Menahan kesakitan yang tidak terperi, menyimpan rasa takut yang seluas langit, menyembunyikan kesedihan adalah lagu jiwa yang selalu berkumandang berdampingan dengan mimpi dan impian kesembuhan. Lalu kata-kata penghiburan yang basi menjadi lebih terasa menyejukkan daripada menunggu dokter ramah yang tidak kunjung datang…

Sang Ayah :

“Bahwa nyawa semua manusia adalah di tangan Tuhan, kita haruslah pasrah sepasrah pasrahnya, tak ada yang perlu ditakutkan, pengobatan hanyalah usaha manusia belaka, namun Tuhan jualah yang menentukan detik kehidupan setiap umat manusia. Tak perlu menangis apalagi histeris, nikmatilah rasa sakit sebagai karunia dan sekaligus tanda kemahakuasaan sang Khalik. Sembuh atau tidak, tidak perlu kita risaukan, serahkan pada-Nya, yang penting adalah bahwa detik ini kita masih bisa berkumpul, bersyukur dan berdoa. Kita semua berusaha, ayah dan ibu yakin bahwa kamu akan sembuh. Semua tahu, pengobatan sekarang sudah amat canggih.”

Dst…, dst…, dst…

Di lorong
Pada waktu yang lain lagi, terjadilah perdebatan antara seorang ayah dan ibu, dengan anak-anak di tengah sanak-saudaranya :

Ayah : “Sebagai orang beriman, kita harus percaya bahwa nyawa ada ditangan Tuhan, meski demikiansebagai manusia, kita harus berusaha dengan segenap kemampuan kita. Terlebih aku, ayahnya yang harus merawat kehidupannya. Maka aku meminta dengan sangat agar rencana ayah dan ibu, untuk menjual sawah itu jangan lagi diperdebatkan.”

Anak Sulung : ” Tapi tinggal tanah itulah satu-satunya yang menghidupi kita, semua sudah terjual dan tergadai sejak tahun lalu. Kami rasa usaha kita sejak bertahun-tahun dulu sudah maksimal, kasihan anak-anak dan cucu-cucumu yang banyak itu kalau sampai sawah itupun ikut terjual. Sekarang aja sudah susah, kalau itu juga ikut dijual, bagaimana kita harus membayar kontrak rumah kita? Lalu besok mereka akan makan apa?”

Ayah : “Kalau engkau percaya Kemahakuasaan Tuhan, tak perlu kau cemaskan kelaparan dan hari esok, kalau kau beribadah dengan baik, dan kalau imanmu ada setitik debu saja, kau tak akan berfikir dua kali demi sedetik nyawa saudarimu itu, karena selalu ada jalan setelah kebaikan. Kita harus keluar dari bangsal ini, kita harus ke ruang VIP agar penanganannya bisa lebih cepat. Semua sudah tahu prosedural itu. Jadi apapun akan kujual, bahkan matipun ayahmu ini rela, demi pengobatan yang lebih baik. Penanganan pengobatan di bangsal ini terlalu lambat, mereka itu semua seperti tidak perduli, dan kau tahu mereka, dokter-dokter muda itu bahkan masih latihan.”

Pilihan
Anak Sulung : “Bersabarlah, sewa ruangan dan biaya perawatan di kelas itu perharinya sangat besar, sedang  dia butuh waktu lama, kita tidak akan sanggup. Kita bisa mengusahakan jalan lain.”

Ayah : “Tak ada jalan lain lagi, kalau tanah itu dijual, minimal adikmu bisa langsung ditangani oleh dokter ahli, bahkan kita bisa memilih siapa dokter yang akan menanganinya. Penyinarannya pun tentu bisa lebih dipercepat. Semua tahu itu. Itu saja dulu yang kita lakukan, dan apa yang terjadi setelah itu barulah kita serahkan ke tangan Tuhan.”

Anak bungsu : “Tanah bude saja belum kita tebus.”

Ibu : “Budemu itu nggak apa-apa, dia amat sayang padanya, kapan-kapan pun kita tebus dia tidak akan marah, dia sudah merelakannya.”

“Siapa bilang,” Sisulung menggerutu sambil membanting botol aqua mengenai tiang-tiang dingin yang sedari kemarin telah bosan mendengarkan perdebatan mereka. Dia meremas rambutnya. Lalu, sama seperti hari-hari biasa, belum juga ada sebuah keputusan. Dan seperti lari estafet, barangkali akan dilanjutkan esok hari, demikian seterusnya.

Yang Menentukan
Seperti pasien-pasien lainnya, terutama orang yang berpenyakit kanker yang berada di kelas Bangsal, menunggu dan menunggu adalah keharusan karena ketiadaan. Mereka harus lebih bersabar dari yang berada di ruang VIP. Kemotherapi, Radiologi, dokter yang mumpuni adalah mimpi untuk impian yang selalu tertunda. Dokter-dokter muda di kelas bangsal lebih banyak memegang handphone daripada memegang pasien. Kurasa mereka harusnya buka warung servis HP atau jual voucher.

Kalau kalian mau penanganan medis yang lebih baik, mendaftarlah di ruang VIP, meski tetap menunggu, setidaknya kau temukan udara sejuk, air aqua panas-dingin, suster yang cantik dan segudang janji manis bertabur senyum yang bertebaran di sana-sini.

Telah Ditentukan.
Beberapa hari kemudian. Di lorong rumah sakit terdengar jerit dan isak tangis. Si sulung dan rekan-rekan bertangisan dengan sangat keras, mengalahkan suara dari mike TOA si penjual roti. Suara mereka memecah keheningan dengan kesedihan yang tiada tara. Sekali lagi kesedihan yang tiada tara.

Sang ayah membatu berdiam diri, tak bergeming, tak ada suara, tapi air matanya berjatuhan juga. Sekali waktu ia menatap anak-anaknya dan saudara-saudaranya bergantian, lalu tatapannya dialihkan jauh menembus lorong rumah sakit yang kaku. Dalam diamnya ia lama menangis, tapi kutahu tangisnya bukan lagi untuk anak yang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya.

PiS “Sardjito, Desember 2010″\Untuk sebuah Keluarga

From : www.Maryati.net

line twilight

Luka Lainnya :

line twilight

Top Rated