Di jalan Godean seorang pencopet tertangkap basah mencuri sebuah handphone. Ia dihakimi massa hingga babak belur, tak sempat mengucapkan sepatah kata. Wajah garang para pengeroyok dan keberingasan mereka laksana wajah dan sifat kiriman dari para iblis di negeri seberang. Sebagian dari mereka memukul dengan tangan kosong, menendang, meludahi, dan mengatakan apapun yang sempat terpikir oleh mereka. Sebagian lagi menyakiti dengan menggunakan apa saja yang bisa ditemukan di sekitarnya, seluruh benda berubah fungsi menjadi alat untuk menyakiti dan mampu menjadi penyalur uneg-uneg keji yang lama tersimpan yang mungkin tak ada hubungan emosi secara imparsial dengan orang yang ada di depan mereka. Mereka menggunakan batu, material bangunan, potongan besi, potongan kayu, palang umbul-umbul, melemparkan botol dan lain-lain secara membabi buta.
Pemandangan di depanku itu tak lebih baik daripada sebuah film brutal dengan sutradara tanpa hati. Barangkali mungkin setara atau melebihi adengan film-film hasil besutan Rob Zombie. Tapi aku sadar bahwa ini adalah kenyataan, alam seperti berbisik mengungkap bahwa semua itu memiliki obyek riil dengan aktor utama adalah sang pencopet. Sedang langit tak berkedip bahwa itulah takdir dan memang harus begitu adanya. Kalau ini film, tentu sutradara telah menyeting bahwa sang pencopet bukanlah anak manusia, lebih tepatnya ia adalah alien yang berbahaya.
Jadilah hari ini, berjalan dan mengalir saja meskipun tak ada sutradara di sini. Lihatlah dia, diperlakukan seolah-olah dia bukan dilahirkan oleh seorang ibu dari rahim yang dirawat selama sembilan bulan lebih. Tak ada yang membayangkan bahwa dulu ia, sama seperti kita dan sama seperti orang-orang bringas itu, pernah menjadi anak kecil, pernah ditimang-timang dan dibesarkan selama bertahun-tahun atau beratus-ratus hari. Bayangkan, beratus-ratus hari, dan karena satu hari ini, ia sudah bukan satu di antara kita lagi. Tak ada pula yang membayangkan bagaimana perasaan ibundanya melihat buah hatinya dan ia tahu anaknya diperlakukan seperti itu. Bagaimana pula jika orang itu ternyata punya anak, istri atau saudara-saudara di tempat lain? Bagaimana menggambarkan seorang istri yang sedang menunggu kedatangannya dengan segelas teh manis panas? Ah.., teh itu akan menjadi dingin lalu terbuang dan perasaan itu akan lebur di jurang kehancuran.
Ketika aku dan beberapa orang mencoba melerai, beberapa diantara mereka dengan kayunya dan dengan mata melotot berpaling ke arahku penuh tanya, benda-benda dengan bercak merah itu ikut menoleh seolah merasa terganggu dengan aktifitas mautnya. Pandangan yang hanya dalam beberapa detik, seperti sebuah kilas balik yang dalam film hanya berupa detik jeda pada transisi sebuah situasi ke situasi yang lain. Terhenti sejenak, lalu kembali keaksi barbarnya, dengan kekuatan penuh dan kecepatan sebagai hasil adopsi perbuatan para iblis. Terasa juga tatapan mata mereka yang beberapa detik itu ternyata tiba-tiba membuat darah tersirap dan perasaan dialiri gumpalan ketakukan seketika. Nyaliku ciut, mendepak gelarku sebagai seorang laki-laki. Tak banyak yang dapat aku perbuat saat itu. Hanya melihat tetesan darah dan mendengar gebukan demi gebukan. Sesekali dengan tak sengaja aku sempat bertatapan dengan si pencopet, pria setengah baya, rambut lurus, kulit cenderung legam. Darahku dingin di sekujur aorta, dan kepalaku penuh dengan lukisan-lukisan melayang, mencoba menggambarkan tentang apa yang ada di balik pelupuk matanya. Aku tak mampu menangkap silhuet yang merupakan gambaran dari apa yang dirasakannya. Aku terbawa ke arus rasa getir, ngilu, dan tubuhku tiba-tiba serasa ikut sakit hingga kesetiap sendi-sendiku. Terbayang wajah istrinya, anaknya atau ibu yang telah melahirkannya, tergambarkan pula wajah ibuku, ayahku, saudaraku, istriku, seandai mereka melihatku dan mengetahui aku adalah dia. Membayangkan perasaan mereka dan beribu-ribu perasaan lain, aku rasa aku harus lari dari sini, tapi kakiku terpaku di aspal panas dan tak bergeming. Dan mataku masih tertuju ke situ.
Lalu kenapa mereka begitu? Itulah, dan seperti biasa aku selalu bersifat imparsial demi melihat dari segala sisi. Sulit menyalahkan para pengeroyok itu secara utuh. Yang kuingat gambaran kejadian di Jalan Kaliurang, di sebuah toko handphone, yang juga kusaksikan sendiri, emosi masyarakat tampaknya semakin hari semakin meningkat, mungkin selain karena ekonomi, juga faktor psikologis di mana mereka geram karena mereka sering mendengar, bahwa selain merampok, para penjahat itu juga sering melakukan perbuatan keji. Di jalan Kaliurang itu, para perampok itu bahkan menyayat leher korban. Berita semacam ini sudah banyak, sudah biasa, dan kita tidak menyadari itu semua bagai gumpalan bola salju di hati kita. Ia akan tumbuh menjadi pemicu yang semakin hari menjadi semakin besar dan berbahaya, suatu hari kelak siap meledak menjadikan kita bringas dan tidak lagi mengenal satu sama lain.
Alangkah sulit membayangkan kejadian-kejadian terakhir ini dan melupakan apa yang telah diperbuat para makhluk ciptaan Tuhan yang katanya derajatnya paling tinggi di muka bumi ini. Dan aku tiba-tiba ingin protes pada Tuhan, yang tak kunjung mengirim para polisi. Aku duduk termenung memandangi gerombolan itu dan aktifitasnya. Jadi teringatlah kata-kata Kahlil Gibran : Karena tidak ada sehelai daun yang dapat menguning tanpa sepengetahuan seluruh pohon – meski ia tetap diam, demikian pula si salah tak dapat berbuat salah, tanpa keinginan nafsu sekalian umat manusia – walaupun terpendam. Keadilan tidak dapat serta-merta dipisahkan dari kezaliman, begitu pula kebaikan dan kejahatan. Keduanya sama-sama tergelar di hadapan wajah matahari, sebagaimana benang tenun hitam dan putih suci bersama menganyam selembar kain. Sekali benang yang hitam terputus, maka seluruh peralatan tenun akan diperiksa. Apabila kalian hendak menghukum perempuan zina (orang bersalah), maka sertakanlah hati ayah-ibunya sebagai anak timbangan dan jiwa suaminya sebagai pita ukuran. Dan apabila seorang akan menjatuhkan pidana atas nama hukum demi tegaknya keadilan, ketika mengayunkan kapak ke batang pohon yang dihinggapi setan, hendaklah dia melihat dahulu akar pohon itu – dan di sana ia akan mengetahui akar yang masih baik, akar yang sudah buruk, akar yang masih mengandung harapan serta akar yang sia-sia dan hanya berisi kemandulan.
Dari catatan dan blog lamaku…
From : www.maryati.net
Sekedip Mata lainnya :
Olenka, Si Matahari Pagi
Olenka, Si Matahari Senja
Olenka, Untuk Tiga Tahun
Olenka, Rinduku Seabad
Senja, Kenangan Dan Aku
Jemari Tuhan Dan Sang Waktu