Daun Hijau Menggapai Senja

Sebaiknya aku bersiap-siap pulang, senja dan awan hitam mulai menelan kehijauan.

Di antara gulungan-gulungan kapas hitam itu, sesekali kilatan cahaya terlihat menyambar-nyambar menunjukkan geraknya yang maha cepat.

Begitu juga dengan suara menggelegar dari balik angkasa, mencoba menakuti makhluk-makhluk yang masih belum beranjak dari  bawah kehijauan.

Ya, sebaiknya aku pulang!

Dari Kumpulan catatan harian : “Dibawah Daun-daun Hijau”

Daun Hijau dan Mari Makan Mie (1)

Daun Hijau dan mari makan mie

Tak banyak kegembiraan yang bisa kami dapatkan dibanding apa yang didapatkan oleh orang-orang kota di metropolitan sana. Tapi yang sedikit itu kadang sudah lebih daripada cukup daripada tidak ada sama sekali.

Tak ada listrik, tak ada mesin cuci, tak ada televisi, tak ada playstation atau barang-barang sejenisnya. Di kota barang-barang itu sudah termasuk kategori barang biasa. Tapi jangan tanya di sini, benda-benda itu kadang sering mampir hanya dalam mimpi saja.

Tapi hari ini kawan, mie yang kami masak dengan kayu bakar dan kuali hitam, ternyata mampu mengundang canda gurau dan tawa. Sementara itu, biarlah dulu anak-anak itu serius menikmati mienya.

“Nyam…. nyam… nyam…”, kata anak-anak
“Huah… ha… ha… ha…”, kata kami, demi melihat tingkah aneh mereka saat salah seorang dari kami diam-diam menggelitik kuping anak-anak itu dengan daun sawit hijau dari belakang pintu.

Dari Kumpulan Catatan Harian : “Dibawah Daun-daun Hijau”

Daun Hijau dan Dapur Orang Manda (1)

Daun hijau dan dapur orang mandaDaun hijau dan dapur orang manda

Seperti di atas itulah kondisi dapur orang manda. Di perkebunan kelapa sawit, “manda” ini biasanya diartikan sebagai tinggal sementara atau beberapa hari di sebuah perkebunan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan di perkebunan tersebut. Beras, cabe, bawang dan lauk berupa ikan asin di beli di pasar lalu di bawa kelahan. Sayur bisa diambil dari daun-daunan hijau yang ada dilahan, atau minta dari tetangga lahan. Kalau ada waktu ikan juga bisa ditangkap di sungai kecil atau biasa disebut kanal.

Pekerjaan untuk manda ini antara lain adalah

  • menyemprot gulma, untuk yang luasnya puluhan hektar, biasanya memerlukan waktu yang agak lama. Yang pernah saya tahu untuk 2o hektar dengan tenaga 2 orang selesai satu minggu dengan bayaran per hektar 800 ribu rupiah.
  • memiringi
  • membuat jalan (pasar)
  • menunas, membuang pelepah/daun yang sudah tua, kuning atau membusuk agar pohon menjadi sehat dan tidak kelihatan meranggas. Lahan yang sudah selesai ditunas biasanya tampak hijau dan memberi semangat.

Aku mengenal beberapa teman yang dari dulu pekerjaannya adalah borongan, dia biasanya manda dari suatu tempat ke tempat lain, bahkan antar kota. Jika sedang tidak ada pekerjaan, mereka biasanya pulang kampung. Menunggu panggilan sms dari teman-temannya yang sudah menetap atau bayar bulanan.

Setelah pekerjaan borongan selesai baru mereka mendapat bayaran lalu pulang untuk menunggu job berikutnya.

Ngomong-ngomong perutku sudah keroncongan, temankupun sudah selesai masak, ada yang mau ikut makan hasil dari operasi dapur ini?!
Mari… mari… :)

Panen Yang Mendebarkan di Sisi Harga Buah Sawit yang Naik Terus

Catatan Harian 04 Desember 2013

Harga tandan buah segar (TBS) Sawit menunjukkan trend naik terus. Hari inipun begitu. Buah hasil panen hari ini dihargai Rp. 1640 /Kg.

Selama panen tiga hari ini badan rasanya cukup letih. Hujan deras, jalan-jalan mulai rusak, semakin hari semakin parah, becek, licin karena tergerus derasnya air dari atas bukit.

Beberapa pemanen sudah ada yang mulai demam dan batuk. Satu dua orang yang diundang untuk manen ada yang istirahat sementara hingga badan pulih kembali.

Panen hari ini tantangan cukup mendebarkan juga. Jalan cukup licin, mobil tidak bisa mendaki, meskipun gardan 2 sudah dipasang. Ban belakang selalu terselip ke arah bibir jurang. Setelah mencoba dua tiga kali, akhirnya saya memutuskan untuk mencari batu-batuan. Daripada harus menjalani resiko yang berat.

Batu-batu di serak di tempat-tempat licin. Voilaaaa…, mobil bisa mendaki dengan tenang. Hari ini panenpun bisa kami selesaikan tanpa ada insiden berarti selain daripada detak jantung dag dig dug plas….

Dan RAM langgananku ini cukup berbaik hati untuk tidak mengurangi persen pada buah yang agak basah kena gerimis. Perkilo dihargai Rp. 1640.

Sampai jumpa di cerita panen berikutnya. Malam… :)

Pikiran-pikiranmu Bebas, tapi Tak Boleh Mengganggu Pikiran-pikiranku

Catatan Harian 04 Desember 2013 – Kanker dan aku yang sedang berada di bawah daun-daun hijau

Pikiran-pikiranmu bebas, tapi tak boleh mengganggu pikiran-pikiranku. Mungkin terkesan sinis aku mengatakannya padamu. Tapi kau harus kuberitahu, mungkin menjelang usiaku yang tua begini, tak banyak lagi yang kuharapkan selain menerima apapun yang kudapatkan, tidak lagi mengharapkan kesenangan-kesenangan duniawi, lampu-lampu gemerlap metropolitan, rokok bermerek, bermain-main di tempat rekreasi, baju bagus, refreshing pantai, mancing, minum-minum (Jangan masukkan teh hangat atau secangkir kopi tentunya), shopping dsb. Kalaupun semua itu terpaksa kulakukan, itu demi kau,  bukan demi aku. Meski aku tak akan pernah menilai dirimu minus hanya karena itu.

Kau juga harus kuberitahu, sudah lama aku belajar untuk menerima bahwa bekerja harus kuanggap sebagai sebuah kesenangan, sebagai sebuah hobi, atau sebagai sebuah pengganti gemerlap-gemerlap yang sering menarik laron-laron hingga terjebak di balik kaca.

Maka itu kukatakan : “Pikiran-pikiranmu bebas, boleh kau ungkapkan kepadaku, namun kau jangan memaksa agar hal itu bisa mengganggu pikiran-pikiranku dan bersifat memaksa hanya karena aku skeptis akan hal itu. Karena untuk yang tidak kusuka aku berusaha untuk tidak marah, dan tidak suka balik memaksa, tetapi aku akan lebih suka memilih untuk pergi menyendiri berlinang ke dalam pekerjaan-pekerjaanku.”

Ah… kau, janganlah menghujatku. Percuma! Telingaku hanya terbuka pada suara-suara yang lagi susah, yang lagi sakit dan butuh nasehat kecil tentang sebuah kata kunci “Kanker”

Kau mungkin tidak akan takut dengan kata “kanker” itu, kau boleh saja berseloroh tentangnya sebagai sebuah kantong kering atau anekdot lainnya hingga kau kelak menghadapinya karena ia bernaung di dalam dirimu, dalam diri orang yang kau kasihi, dalam diri saudaramu atau dalam diri teman yang kau sayangi. Jika kau terpaku karenanya dan merasa berdenging di dengkulmu karena tak kuat menahan kekhawatiran, boleh-boleh saja kau berbicara dari hati ke  hati padaku, itupun kalau kau mau dan merasa belum ada yang lainnya yang lebih baik.

Untuk yang pertama, kau boleh mengajakku tertawa sembari aku tetap bekerja di bawah daun-daun hijau kelapa sawitku tanpa harus berhenti dan tanpa harus melap keringat. Namun untuk yang kedua, aku akan berhenti bekerja, sedaya upaya akan mencoba menenangkan diriku lalu menenangkan dirimu, mengingat apa yang pernah kupelajari dan kualami selama beberapa tahun tentang kanker sialan itu. Lalu mencoba memetik hikmah yang perlu dan berbagi kalau kau mau menerimanya. Kau boleh memilah, memakai yang kau perlu dan membuang yang kau tak suka. Mungkin kau akan bertanya dan aku berusaha menjawab. Mungkin pengetahuanku tentang itu masihlah cetek dibanding dokter-dokter ahli. Tentu saja itu benar, tapi aku memiliki waktu yang berlebih dibanding mereka, dan aku tak harus mengingat jarum jam atau memutar tombol-tombol waktu sejak pertama kali kita bicara tentang penyakit sialan itu lalu mengeluarkan billing. Tidak! Ini kulakukan karena akupun pernah sedikit terdamaikan oleh orang yang tidak kukenal waktu penyakit itu ada didepan mataku selama bertahun-tahun. Dia memberiku nasihat yang tidak kalah mahalnya dibanding yang diberikan oleh dokter walaupun hanya lewat sms dan hanya lewat dunia maya belaka. Waktu itu sudah kusadari bahwa pengetahuan dia tentang penyakit kanker itu sangatlah jauh dibanding dengan apa yang menjadi harapanku atas sejumlah pertanyaan yang bergayut di hati. Tapi kedamaian dan pengharapan tetaplah terkandung dalam kalimatnya dan itu hingga kini belumlah mampu kubayar dengan apapun selain daripada mencoba berbuat seperti yang pernah dilakukannya padaku.

Daun Hijau Menggapai Awan Putih dan Langit Biru

Daun hijau menggapai awan putih dan langit biru

Jari-jemari itu, hijau, menggapai kubah biru berselimut putih. Ia ingin sekali bersalaman dengan titik redup yang tinggi jauh di atas sana, yang menyimpan semangat dan sari kehidupan dalam siklus yang selalu bergantian. Tidak seperti hujan dan kemarau, ia akan tetap selalu hadir kedalam musim apapun, meski kadang suram oleh asap buatan manusia atau oleh kabut ciptaan Tuhan. Sesekali ia bersembunyi tapi tetap mempersembahkan energi agar kehidupan senantiasa tetap berjalan pada titian waktu sebagai jembatan karunia.

Saat kutatap tinggi-tinggi, aku mendengar bisikan suara hatiku dengan seksama, “Kekasihku, apakah kau di Sana?” Tentu saja itu ungkapan rindu yang datang dengan tidak kusadari.

“Kenapa mesti  mengelak?” demikian kata perasaanku.

Dan saat pikiran-pikiran logika datang bahwa “bekerja lebih baik daripada menimang masa lalu yang tak bermanfaat”, datang dan tersiratlah kata di antara hati dan pikiran : “Inilah seni, inilah kehidupan, kau boleh memilih menikmati gemerlap bintang-bintang malam dan purnamanya dengan suka cita atau dengan perih hati. Kau bisa menikmati kelabu senja dengan senyum atau sejumlah kerut menguasai keningmu. Kau bisa memilih menjadikan rasa rindumu menjadi tikaman atau menjadi balutan lembut di ulu hatimu. Jadi kenapa mesti kau tepis, kalau puncak rasa rindumu bisa kau jadikan sebagai simbol bahwa ada Kekuasaan yang maha tinggi yang bisa menyatukan dan memisahkanmu dengan orang yang kau sayangi atau dengan siapapun. Dan kaupun telah melihat, bahwa rasa rindumu dalam tatanan indah telah membuat ia hadir di antara langit biru, awan putih sebagai matahari yang redup bercahaya namun tersirat binar terang dalam jiwanya yang akan membantu menerangi jalanmu, menolong tangan-tangan hijaumu saat menggapai indahnya redup mentari di langit biru berawan putih. Suat saat, kau akan memetik buahnya!”

“Ya, akan kupilih kata diantara hati dan pikiranku!”

Dari kumpulan catatan “Di Bawah Daun-daun Hijau”

Daun hijau menggapai awan putih dan langit biru
Daun hijau menggapai awan putih dan langit biru

Daun Hijau dan mari makan mie

Tak banyak kegembiraan yang bisa kami dapatkan dibanding apa yang didapatkan oleh orang-orang kota di metropolitan sana. Tapi yang sedikit itu kadang sudah lebih daripada cukup daripada tidak ada sama sekali.

Tak ada listrik, tak ada mesin cuci, tak ada televisi, tak ada playstation atau barang-barang sejenisnya. Di kota barang-barang itu sudah termasuk kategori barang biasa. Tapi jangan tanya di sini, benda-benda itu kadang sering mampir hanya dalam mimpi saja.

Tapi hari ini kawan, mie yang kami masak dengan kayu bakar dan kuali hitam, ternyata mampu mengundang canda gurau dan tawa. Sementara itu, biarlah dulu anak-anak itu serius menikmati mienya.

“Nyam…. nyam… nyam…”, kata anak-anak
“Huah… ha… ha… ha…”, kata kami, demi melihat tingkah aneh mereka saat salah seorang dari kami diam-diam menggelitik kuping anak-anak itu dengan daun sawit hijau dari belakang pintu.

Menangkap Daun Hijau di Dalam Jurang (1)

Daun hijau dalam jurang

Menangkap sebuah gambar dari alam yang indah sesuai dengan keinginan hati agar kekaguman yang menyelimuti diriku bisa kubagi tanpa harus berkata-kata tidaklah sulit bagi seorang fotografer yang profesional, tapi bagiku hal itu seperti melawan arus sungai dengan tujuan cepat-cepat menggapai hulu.

Meski demikian, aku tak mau membungkam keinginan berbagiku walau jelas tak menemui makna sempurna. Jadi kucoba meng-klik beberapa bagian dari pemandangan ini dengan sedikit harapan agar teman-teman yang terlanjur masuk kehalaman ini merasakan gemuruh kagum yang tersirat di seluruh nadiku atas kebesaran dan kemahakuasaan pencipta.

Memang sungguh sayang, kini aku tak lagi memiliki kamera semipro-ku. Tapi segala yang kudapat, meski kecil, taklah membuatku menggerutu hingga melemparkan nilai diri atau merendahkan nilai diri hingga jatuh kepada keserakahan dan ketidak sabaran. Kupikir aku masih bisa mencoba berbagi kekaguman yang menyelimuti hati dan pikiranku ini walau dengan mengabadikan foto daerah ini memakai kamera pocket dan kamera handphone. Dan engkau yang berjiwa seni, mungkin bisa mengimajinasikannya melalui hal-hal serupa yang pernah kau lihat, menutupkan kedua bola mata dan membayangkan seperti apa yang kulihat ini.

Sobat! Ngarai ini menurutku tidak kalah indahnya dengan ngarai atau jurang yang ada di Kaliurang, tempat aku biasa menumpahkan rasa rindu dan membungkam rasa sepi saat masih tinggal di Yogyakarta. Tidak ada wisatawan yang mau datang kesini, terkecuali orang-orang luar yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang yang tinggal di sini.

Bisa kukatakan kondisi tanaman di sini mirip dengan kondisi tanaman yang di Kaliurang, hanya ada sedikit pohon hijau, yang rimbun adalah rumput-rumput liar, sejenis gulma atau pakis berdaun hijau.

Dan bila kekaguman itu ada pada dirimu, seperti yang ada pada diriku, kurasa saat itulah perasaan  kita berjalan menuju titik yang sama. Keagungan Sang Pencipta.

Dari kumpulan Catatan Harian “PiS”

Daun hijau dalam jurang
Daun hijau dalam jurang

Daun Hijau dan lembah
Daun Hijau dan lembah

Daun Hijau dan ngarai (2)
Daun Hijau dan ngarai (2)

Sebelum Berangkat

Saat aku mengatup mata, mengakhiri hujan di pipi, keajaiban gelap korneaku menghamparkan pelangi. Kau turun di sela larik warna-warninya, mengepak sayap suka cita, menebarkan senyum sambil berkata : “Kuat, ikhlas dan bersabarlah!”

(PiS, Juli 2011 Bandara Adi Sucipto)

Xenia di Kilometer 11.000

Xenia, di kilometer 11.000. Hatiku goyah di atas gelinding roda-roda melemah, diriku mencoba mencuri waktu, mengumpulkan cuilan-cuilannya sedikit demi sedikit seperti mengumpulkan repihan berlian yang tak ternilai harganya. Mungkin aku ingin membangun sebuah gunung dari repihan itu. Tempat bagimu menjadi sebuah altar agar kau bisa menari sedikit lebih tinggi dari bunga-bunga aneka warna bersama gaun merahmu. Dari atas serpihan itu, kelak aku mencoba melewati dan menantang sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih perkasa dari yang pernah terfikirkan sebelumnya.

Xenia,
Kini perasaanku runtuh ke dalam kekosongan. Rasa hampa yang gelap berlumuran gulita. Akulah seorang buta yang terperosok ke jurang gelap tak berujung, tak ada pegangan, jatuh melayang tiada henti. Tapi itu tak penting lagi bagi mata dan perasaan, karena ‘apalah bedanya dengan terperosok ke dalam jurang yang terang benderang meski mata butaku terbuka lebar-lebar’.

Hey…! Biarkan aku melayang mencari keutuhan jiwaku yang terbawa si binar bola mata ceria itu, karena di sana separoh nyawaku terbawa sayap-sayap putih miliknya. Dan bila aku dapat menikmatinya, mungkin itulah serpihan waktuku yang sangat berharga, yang tersisa sebagai pengisi mosaik yang kurang dari jiwaku. Barangkali tak sedikitpun sisa-sisa waktu yang tersedia itu mampu kuberikan padamu sebagai setangkai bunga indah lagi harum selain hanya sebagai sebuah catatan kecil tanpa aku ingin kau mengenalku karena dia.

Ah kau, nafas jiwaku jangan dulu sampirkan pengharapan semangatmu bersama lilin kecilku ini. Biarkan aku mendengarkan lagu-lagu kita ini beriring irama gelinding roda-roda seperti tanpa berujung, karena kutahu aku kelak adalah tumpukan gurun-gurun waktu yang sepi tak berpenghuni.

Xenia…,
Kubawa kau berlari kemanapun, seolah aku sedemikian takut kehilangan detik-detik berharga yang berceceran tak terkumpulkan itu.

Xenia,
Waktu itu kau biarkan angin kencang meniup rambutmu, berkibar mengarung jalanan panjang yang akan kita lalui dengan ke kosongan  hati. Lalu lagu-lagu kenangan mengalun mencoba membujukku untuk tidak mengingat kalimat doktermu yang menyayat : “Kami tidak tahu, mungkin 3 bulan, mungkin 6 bulan, mungkin…, mungkin… dan bla bla bla…”

Xenia,
bulan redup redam, kenapa kau mesti marah saat selalu kucuri pandang wajahmu sambil nyetir lewat spion?  Harusnya kau paham, aku hanya mencoba menyembunyikan kesempurnaan rasa takutku tentang di mana kelak aku harus bisa sendirian mengurai waktu demi menemukan pemahaman tentang antara : “mengikhlaskan dan menyayangi” dengan “rasa kehilangan panjang”. Akan lebih panjang dari ribuan kali 11.000 kilometer Xenia yang telah kita lewati ini.

(PiS, Tentang 2010 di 2011)

Catatan Harianku di 2013

Setiap orang punya jendelanya  masing-masing. Jika kau tidak punya jendela kayu jati di rumah mewah, setidaknya kau punya jendela kayu sengon di rumah sederhana. Jika tidak punya keduanya, setidaknya kau masih punya jendela  hati.

Kuberitahu, kalian jangan masuk dari jendela hatiku, tetapi masuklah lewat pintu rumahku yang sebenarnya, karena jendela hatiku masih tertutup dengan kunci yang masih belum kutemukan. Jangan bertanya sampai kapan, karena aku sendiri tidak pernah memahami “alam waktu”, wajah dan  temperamennya yang sebenarnya.

Jika kau merasa risih, bosan tentang jendela hati ini, izinkan saja dan biarkan aku berlari di dalam alam waktuku, mencoba menghapus jejak-jejak rindu yang masih tertinggal di jalan menuju rumah batinku.

Dan kau yang jauh di sana, “Masih ingatkah kau?”,
“Sedang apakah kau yang tega meninggalkan jejak-jejak rindu itu di halaman batinku?”

“Ah… lemahnya aku tanpamu…!”

(Pis, Riau 2013)

Hujan dan Perasaan

Hujan dan puisi to MaryatiAku dengar kebenaran dari hujan yang berjatuhan. Membawa sisa perjalan jauh dari Jawa menyeberangi samudera, perlahan mengetuk atap, tembok dan jendela kaca ku di Sumatera lalu tergelepar di jalanan. Itulah kebenaran tentang hujan.

Di sisi sepinya waktu, saat mataku melepas jiwa dari kaca jendela basah, melayang sang merdeka beribu-ribu kilometer jauhnya, mengarung samudera mencari waktu yang jauh tertinggal di belakang punggungku. Tempat dulu kau dan aku mengepak sayap kasih dari daun ke daun.

Dalam renung dingin, lembut kau menghampiriku, bersama ciuman yang lama menempel di langit-langit kamarku. Menebar aroma saat memelukku, lekat erat menjauh dari dinding-dinding kelabu.

Sampai kini, masih terhidu aromamu di ruang komputerku, persis seperti saat-saat indah yang kau hibahkan, saat kau memelukku dari belakang membawa ciuman ke ubun-ubunku demi mengajak meninggalkan malam ke dalam kamar kita yang penuh mimpi masa depan bertabur harapan. Tapi itu kini kosong bagiku tanpa perlu dipertanyakan kenapa.

Sungguh tajam kenangan menyayat kalbu. Lelah kucari, tapi tak kutemukan jalan menuju tempat untuk melepasnya meski sepercik demi sepercik. Jadi kujejak kakiku kemana kumampu, kemana hatiku mau, tanpa menghiraukan lagi kalimat-kalimat perih yang dihidangkankan orang-orang yang menunjukkan mereka tak mengenalku sama sekali selain raut wajahku.

Aku memohon pada sang waktu, agar segera memutihkan rambutku dan membijaksanakan jiwaku. Untuk kemudian berbaring ke sisimu lalu menciummu sekali lagi sebelum terjatuh ke dalam kebenaran dunia yang harus takluk kepada nasib. Kebenaran itu, terlalu lama kuperjuangkan. Jauh lebih lama dari ritmis ketukan rindu hujan pada kaca jendela malam tentang cerita musimnya.

Di sini, dibantalku masih kusimpan mimpi-mimpi sebelum memulai kembali pagiku. Karena itu kutaruh kepalaku di sana lalu kukatup mata, mendiamkan saja rintik hujan yang mengetuki jendela kacaku lalu bergeleparan di jalanan…

(PiS, Perjalanan ruang 2013)

Surat Maya untuk Maryati

Surat Maya Untuk Maryati

Mar..,
Kau tahu, kemanapun aku pergi, mungkin rasanya akan sama saja. Jadi kusingkirkan saja pikiran terhadap angan tentang pemilihan suatu tempat atau berkelana ke tempat demi tempat-tempat lain, lalu  membayangkan aliran nafas kehidupanku yang mencoba berdiri sambil melepaskan  cengkraman akar-akar rasa rindu padamu di sana bergulir dengan lancar.

Kurasa aku tak perlu membanding-bandingkan suatu tempat dengan tempat lain, lalu bermimpi menemukan tiang di suatu tempat untuk menambatkan hatiku karena  siapa tahu di tempat itu kutemukan ketenangan jiwa yang lama kucari walau tanpamu.

Ah… kurasa takkan ada tempat seperti itu! Jadi.., biarkanlah dulu sementara ini aku di sini, mencoba menguburkan lukisan jiwaku yang berisi gambaran-gambaran dari perasaan hingar-bingar yang berkejaran dan berlarian tanpa arah, lukisan  yang selalu berlomba menampilkan ribuan warna tentangmu, namamu, raut wajahmu, senyummu dan seluruh kemilau kenangan tentangmu.

Harus kuterima saja guratan lukisan-lukisan itu dengan menyiapkan sebuah kanvas seluas-luasnya di hamparan sisa waktu dan pikiranku. Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan selain membiarkannya  saja mengalir ke dalamnya bersama arus sungai di depanku ini, entah kemanapun semua itu kelak akan bermuara.

Perasaan…! Rindu! Sungguh kau tak terkuburkan di tempat manapun di muka bumi ini.  Tempat yang ditunjuk orang atau yang kupilih sendiri.

Kini di sini, di siang terik di bawah gemerisik daun yang melambai, saat sayup dan hening menang atas seluruh   redup sudut pandang jiwaku,  kau serasa hadir di sisi kananku. Saat kesunyian merajai kehijauan dan meredam suara arus sungai yang lunglai, saat desau angin  membuai seluruh sendi rasa rindu yang tak habis-habisnya, mungkinkah kau memang berada di sini, di tempat ini? Mungkinkah kau melihatku dan mencoba menentramkanku lewat desau angin?

Hatiku berperang dengan Pikiranku!
Ah…, kurasa kualah yang berbisik di antara helai-helai daun sawit dan  gemericik sungai kecil. Kau merangkulku lembut saat aku mengatup mata, lalu memperdengarkan suara kecil serupa desau di daun telingaku. Bisikmu menyejukkan hatiku saat pelan-pelan kau bilang  : “Segalanya akan baik-baik saja”

Jadi kutuliskan surat mayaku ini padamu sekedar untuk bilang terimakasih.  Dan bila esok menjelang, saat aku kembali singgah di sini, kuundang kau lewat surat ini. Datang, mampir dan bisikilah aku sekali lagi dan sekali lagi, sebagai pertanda bahwa kau juga masih memiliki rasa rindu padaku yang dulu kau janjikan tidak akan pernah pudar. Lubuk hatiku akan menuliskan lagi surat-surat maya lainnya sebagai pertanda bahwa seluruh jiwa ragaku masih utuh menyimpan rasa rindu sempurna yang hanya untukmu, meski di tempat manapun aku berada dan menghela nafas kehidupan. Karena sungguh, aku masih menyayangimu. Sungguh!

Riau, 20 Agustus 2012

(Pis)

Draft dari http://www.maryati.net

Lingkaran Musim

Lingkaran kehidupanku selalu menyingkap kekuatan dan kelemahanku seperti pergantian musim demi musim. Dan aku percaya bahwa setiap musim menyimpan kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri (PiS, Agustus 2012, Green Forest Riau)

Bening Indah Bola Matamu dan Mentari

Dulu, saat-saat aku masih dikaruniai dan berlinang dalam cinta kasihmu, aku selalu ingin berjalan bersamamu menikmati alam sebagai kasih karunia Tuhan. Aku terbiasa menikmati mentari yang mulai tenggelam kala senja atau mentari yang mulai terbit kala pagi bersama bening bola matamu.

Sekarang saat kau telah tiada, aku masih bisa menikmati bening bola matamu saat mentari senja mulai tenggelam dan saat-saat mentari  pagi mulai terbit, saat-saat dimana aku sungguh merindukanmu, setiap waktu. Mentari terbit dan mentari tenggelam adalah bening indah bola matamu yang selalu menungguku (PiS, Catatan Harian “Setelah kau pergi”)

sumber : www.maryati.net

Previous Older Entries

Top Rated