AWAN KELABU DAN BULAN PURNAMA

AWAN KELABU

Seperti awan kelabu yang selalu menutupi Purnama, barangkali hanya aku yang sukar memahami niat yang termaktub di hati kapas-kapas abu-abu itu, entah datang dari mana dan entah apa tujuannya menghalangi cahaya kuning penuh cinta sepenuh hati itu pada kehidupan yang dimiliki bumi.
“Mungkinkah ia ingin agar bayang-bayangnya memenangkan malam?.”
Mungkin juga dia suka dilahirkan lebih menyenangi kegelapan.
Atau mungkinkah ia lebih mencintai keheningan daripada keriuhan?  Karena barangkali cintanya pada keheningan adalah secinta penyair pada kesunyian hanya demi agar butir-butir kata cinta bisa terlahir lebih indah dari apapun lalu merasa akan diterima langit, untuk kemudian disampaikan kepada orang yang tak mungkin kembali lagi.

Atau ia sedang dalam perilaku untuk menarik perhatian sang pengelana yang selalu menyendiri dan menulis seluruh catatan jejak  kakinya pada tuas pengungkit hari tanpa ingat meletakkan rasa lelah pada istirahat sepenggal pun.  Ia adalah egois yang dominan ingin mengisi catatan itu dan selalu memaksa agar di setiap lembar selalu di mulai atau terdapat untaian kata yang menyebut namanya : awan kelabu atau rasa rindu.

BULAN PURNAMA

Dan kau kasihku, tak bisa kupahami bahwa kau selalu datang ke pelupuk mataku kemanapun rodaku kularikan, atau kemanapun langkahku kujejakkan. Goresanmu memang mungkin telah meretas di pupil dan korneaku.  Jadi  di antara desau angin malam,  kuhitung lagi kau yang selalu merona dari satu daun ke dedaunan lainnya pada setiap pohon yang kulewati ketika menyisir helai malam demi helai malam.
Kucoba menghitung kau pada setiap kepak burung yang diam-diam mengibas sayapnya pada bentang gelap. Perasaanku kau di sisiku meski mataku tak melihat kau di manapun kau kucari.

Dan bila kini aku melayang lagi di  jalan Tol Jakarta ,  tak ada yang kucari selain jawaban akan pertanyaan :  “Kaukah yang berbisik di antara cahaya-cahaya kecil yang menebarkan terangnya menjadi kelap-kelip cinta ke langit kosong sana?”

Sungguh hambar perpindahan diriku dari satu waktu ke waktu yang lain dan dari satu tempat ke tempat lain karena rasa ingin bertemu yang tak pupus-pupus selalu terselip di antaranya. Ia menjadi godam ke punggungku sehingga langkahku tersentak ke sana ke mari.

Bila kelak duniaku berhenti berputar, namun aku belum juga bisa menggapai ujung jemarimu, “bisakah kau kembalikan air mataku yang rela tak kuhitung demi membayar rasa rinduku yang tak putus-putus padamu?”

Tak perlu kau persalahkan aku. Karena kutahu aku memang salah, salah dan salah, tapi apalah yang mesti dilakukan seseorang ketika ia telah menjadi  mimpi sebuah bulan Purnama selamanya…! Sementara awan kelabu tak mampu menghalanginya.

Leave a comment

Top Rated