ZIARAH

Musim hujan tiada henti
Rinainya mengusik semua perjalanan Februari
Siang ini, di Godean ini
dingin, sunyi, lengang,
Sayup-sayup angin menyapa
Mungkinkah itu kau yang ingin menemani
dan ingin menghiburku?

Aku tak berani mampir ke rumahmu
Tangisku meronta-ronta di hati
Pohon raksasa itu diam tak perduli
Dia terlalu garang buatku,
meski juga meneduhkan

Laki-laki harus menahan ratap
menenggelamkannya demi martabat
Jadi aku meninggalkan jalan setapak ini
dengan hati penuh bergelora

Hanya dari jauh, sekejap
lantas aku berlalu
dan ziarah hanyalah mimpi
Sabarlah menunggu…

.
.

Kenangan Siang
PiS 28 Februari 2011

Buat Maryati


In English : Pilgrimage

Sketsa Kita

Kitalah  ikan dalam akuarium,
Berenang dalam genangan  air mata sendiri
Bagiku itu indah, asal kau ada

Di akuarium kita
Ada koral indah tempat kita berpetak umpet

Ada makanan sederhana, bergizi
Dikirim Tuhan lewat jemari malaikat
dari masa ke masa

Kita tidak butuh samudra,
atau sungai terpanjang di dunia

Lalu kenapa engkau mengelana, menjauh dariku?

Kata orang Tuhan memintamu karena menyayangimu

Dia merawatmu dengan kelembutan awan
Tapi kurasa Dia sedang menghukumku
untuk sesuatu yang tidak terlalu kumengerti

Tinggallah aku sendiri sayangku,
Berenang dalam linangan akuarium mimpi panjang
Airku tak berpengharapan
Koralku tak berguna,
Lampu-lampu germerlap tak menarik lagi,
Lagu-lagu jadi hambar,
Siapa yang mau mendengarkan keluhanku?

Cuma kamu sayangku

Tuhanku, alangkah tega Engkau..
.
.
.

Februari 2011
Maryati, I miss you..

Aku Mendengarmu…(1)

line twilight

.

Tik.. tok.. tik.. tok.. tik.. tok…,
Jam menarikan detiknya
menemani hujan
yang mencoba menerobos genteng kaca tempa kamar kita,
sambil bersenandung : tik… tritik…tik…tik…tik… tik…

kelopak matamu turut menarikan rapuhmu
kedap…kedip…kedap…kedip…ratusan kali…

Lalu kau alirkan senyummu
seperti sungai membelah kaki pegunungan
mencoba membohongiku
atas jemari kurusmu yang gemetaran

telingaku masih jeli meraba semua simponi halus itu
meski suaramu tegas ketika kau bilang :
“Aku akan sembuh….!”

..

PiS, Kenangan awal Feb 2011 yang menari kembali di benakku.

line twilight

Puisi Lainnya :

line twilight

Tadi Pagi

Serasa kau masih disekitarku, sayang. Jadi aku ke dapur, barang kali engkau sedang sibuk mengiris bawang,  membuat jus wortel atau memasak. Tapi di sana hanya kutemui gelas, sendok, pisau dan piring kotor. Entahlah,  mungkin masih ada harapan, jadi kucoba membuka kamar-kamar belakang, berharap kau di sana sedang sibuk bersih-bersih dan butuh bantuanku. Lagi, hanya ada tumpukan buku, kertas-kertas usang,  koran bekas berserakan dan angin belaka.

Pagi tadi, tak ada bunyi gelas gemerincing, tak ada bunyi air keran, atau senandung kecil, yang ada hanya bisik sang sunyi menghimpit dada dan perasaan hampa tak terperikan. Kupikir kau lagi belanja, jadi aku ke beranda, kucoba duduk sementara menantikanmu. Alangkah lama datangmu.

Di ruang Website terlihat kosong, anak-anak belum datang. Di dindingnya ada fotomu dengan mbak Umi bersama Adnan Buyung dan entah siapa lagi itu teman-temanmu itu. Kalau kutatap seolah engkau bilang kau baru sibuk ikut perkumpulan, arisan atau apalah, kau akan pulang sebentar lagi.

Meja-meja dirungan itu terasa dingin, detak jarum jam terasa miris. Ada kartu namamu dan dadaku berdebar membacanya. Kertas-kertasmu masih bertebaran, dan coretan tanganmu, astaga…., hatiku ini….

Di taman belakangpun  sunyi, bunga-bunga sudah tidak terurus, kaupun tak ada situ. Dulu, pagi-pagi sekali, engkau sering kudapati di situ, kalau tidak menyiram bunga, kau sedang mencabuti rumput atau menanam biji Anthurium. Kau selalu bilang, “Ayo bang dibantu, siapa tahu besok bisa di jual.” Mana suaramu itu sayang…?

Kurasa aku hanya sedang bermimpi, sayang. Mar.., apakah kau ada di angin-angin seputarku? Apakah kau ada di langit-langit taman ini? Atau dimanakah kau sayang? Apakah kau betul-betul sudah di pembaringan yang kekal itu? Apakah kau di surga? Masih kau dengarkah kalau aku bernyanyi pagi-pagi untukmu? Lagu si Ebiet G. Ade itu sekarang sering kukumandangkan pada pagi, malam, bahkan dini hari, sambil berharap cemas bahwa kau masih bersedia meluangkan waktu mendengarkan, tersenyum dan menggamitku menyuruh tidur. Kau dengar tidak sayang lagu-lagu itu? Kau dengar nggak rintihan dawai gitarku itu?

Kurasa kau sedang membaca tulisanku ini, dan memelukku dari belakang tanpa kusadari.

Masih Ada beribu pertanyaan Mar, berbisiklah padaku sesekali. Jangan biarkan aku selalu menunggu, menunggu dan menunggu, setidaknya kirimkan bayanganmu sekedar menemani mimpi panjangku.

In English : This Morning

From : www.maryati.net 

—————————
24 Februari 2011
——————————

line twilight
Luka-Luka Hati Lainnya :

line twilight

AMAYADORI (Mayumi Itsuwa)

Eki no ho-mu de mikaketa,
anatawa mukashino koibito
sono natsukashii yokogao wa omowazu koemo kaketa watashi

anatawa odoroita yo-ni tabako wo otoshiteshimatta
kudakechitta honoo no hibi ga tsuka no mani yomigaeri mitsumeau

do-shiteru ima wa arekara kimiwa
genkini shiteruwa itsudatte watashi
ochademo nomou-
sukoshino jikan densha wa toorisugiteyuku

anata wa ko-hi-kappu ni kakuzato futatsu irete
imano bokuwa konnamono sa to warainagara kamiwo kakiageta
so-dakedo fushigine anohi wakareta koto mo tada wakasugitadake dato futari yurushiaeru

aishita wa watashi
anata no kotowo
ima wa betsubetsu no yume
wo ou kedo

meguriai wa sutekina
kotone amayadori
suru yo-ni futari

 

Di RS Sardjito

Bicaralah sayangku
meski waktu tidak berpihak
meski hari hujan debu
meski merapi murka tak terkendali
meski sunyi mengungkung
meski sepi menjerat
meski rasa sakit menjadi penguasa atas detik-detikmu

Bicaralah!

.

Bicaralah sayangku
jangan tunggu datangnya orang lain
jangan tunggu dering handphone
jangan tunggu apapun
entah sampai kapan itu

Bicaralah!
Aku di sini…

Sardjito Desember 2011

Protected: Kontemplasi

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Kemana Burung Layang-layang

Pukul 7 pagi :

Seperti hari biasa, hari ini aku berdiri di jendela, memandang menembus kaca, mencari keceriaan dan twistnya si burung layang-layang.

Tapi,  hari ini mereka tak ada terbangan dan hinggap di seputar dinding lantai 5 Gedung Bedah Sentral ini. Sarangnya kosong ditinggalkan. Lengang. Kenapa? Entahlah!

Dadaku disusupi sunyi, batinku sepi, situasiku mengalir malas, aku gelisah lalu  doa-doa tak lagi menenangkan.

Tapi sebentar kemudian Tuhan mengirimkan seekor pipit, dia terbang ke pohon pinang hanya beberapa meter di depanku. Terbangnya tak beraturan. Leher putihnya sangat menghibur, tapi itupun tak lama jua. Limabelas menit kemudian dia lari dan tak datang lagi.

Lalu kesepian dan kesunyianlah yang beterbangan di sekelilingku.

Sedang Kau Maryati,
sedari tadi lunglai tertidur,
lemah tanpa sayap.

In Memorial : Desember 2010, RS Sardjito.
Dari berkas-berkas yang berceceran.

Aliran Derita

Ketika orang-orang tak mau lagi mengotori hari  kebahagiaannya
dengan cerita sedihmu,
Ketika orang-orang cepat-cepat menutup handphonenya,
mendengar lirih rintihmu,
Ketika orang-orang sangat jarang mengunjungimu,
dan tak kuasa melihatmu,
Ketika semua orang menjadi semakin sibuk,
tak perlu kau mengatupkan mulut,
memicingkan mata,
berdiam diri menahan jarum-jarum yang bertubi menghancurkan sekujur tubuhmu,
meringislah,
menangislah,
menjeritlah,
Kubuka telingaku,
kuulurkan tanganku,
kan kuhentikan langkahku ke pintu terbuka,
‘ku kan selalu di sisimu.

.

Oh…, makhluk Tuhan yang kurus,
kecil,
keriput,
tanpa berat badan
Kaulah kesempurnaan selama 16 tahun ini.

.

Oh …Tuhan,
kenapa kau ciptakan makhluk dengan aorta dilewati sungai derita yang tak kunjung henti?
Oh… Tuhan
tak kaulihatkah keperihan itu mengucur menghujani bantal, sprei dan tirai batinku?

Oh…Tuhan butakanlah Mataku dan matikanlah perasaanku
Aku tak sanggup melihatnya begini

.

Oh…, makhluk Tuhan kecilku yang kucintai,
kukatakan padamu
Kuatlah sayang,
aku disisimu
Mari sini kuhapus air matamu!!!!!!

dst
.

.

.

.

Januari 2011

For Maryati

Bangsal, di Lorong Pilihan Yang Menentukan

line twilight

Bangsal
Berbincanglah seorang ayah, seorang ibu dan seorang anak gadis berumur 14 tahun. Gadis belia itu mengidap kanker, perutnya amat besar, meluluh-lantakkan hati setiap orang yang melihatnya. Tapi mereka menempa kesabaran di tengah kesadaran, kesadaran akan ketidak mampuan, dan kesadaran harus berpengharapan. Kesabaran, sepatah kata yang menyakitkan jika dipakai untuk menunggu penanganan medis di tengah garis tipis antara kesakitan dan ketakutan atau ditengah garis tipis antara kehidupan dan kematian. Pengharapan? Sudah habis di terbangkan pada doa-doa panjang dan alas kemiskinan!

Menahan kesakitan yang tidak terperi, menyimpan rasa takut yang seluas langit, menyembunyikan kesedihan adalah lagu jiwa yang selalu berkumandang berdampingan dengan mimpi dan impian kesembuhan. Lalu kata-kata penghiburan yang basi menjadi lebih terasa menyejukkan daripada menunggu dokter ramah yang tidak kunjung datang…

Sang Ayah :

“Bahwa nyawa semua manusia adalah di tangan Tuhan, kita haruslah pasrah sepasrah pasrahnya, tak ada yang perlu ditakutkan, pengobatan hanyalah usaha manusia belaka, namun Tuhan jualah yang menentukan detik kehidupan setiap umat manusia. Tak perlu menangis apalagi histeris, nikmatilah rasa sakit sebagai karunia dan sekaligus tanda kemahakuasaan sang Khalik. Sembuh atau tidak, tidak perlu kita risaukan, serahkan pada-Nya, yang penting adalah bahwa detik ini kita masih bisa berkumpul, bersyukur dan berdoa. Kita semua berusaha, ayah dan ibu yakin bahwa kamu akan sembuh. Semua tahu, pengobatan sekarang sudah amat canggih.”

Dst…, dst…, dst…

Di lorong
Pada waktu yang lain lagi, terjadilah perdebatan antara seorang ayah dan ibu, dengan anak-anak di tengah sanak-saudaranya :

Ayah : “Sebagai orang beriman, kita harus percaya bahwa nyawa ada ditangan Tuhan, meski demikiansebagai manusia, kita harus berusaha dengan segenap kemampuan kita. Terlebih aku, ayahnya yang harus merawat kehidupannya. Maka aku meminta dengan sangat agar rencana ayah dan ibu, untuk menjual sawah itu jangan lagi diperdebatkan.”

Anak Sulung : ” Tapi tinggal tanah itulah satu-satunya yang menghidupi kita, semua sudah terjual dan tergadai sejak tahun lalu. Kami rasa usaha kita sejak bertahun-tahun dulu sudah maksimal, kasihan anak-anak dan cucu-cucumu yang banyak itu kalau sampai sawah itupun ikut terjual. Sekarang aja sudah susah, kalau itu juga ikut dijual, bagaimana kita harus membayar kontrak rumah kita? Lalu besok mereka akan makan apa?”

Ayah : “Kalau engkau percaya Kemahakuasaan Tuhan, tak perlu kau cemaskan kelaparan dan hari esok, kalau kau beribadah dengan baik, dan kalau imanmu ada setitik debu saja, kau tak akan berfikir dua kali demi sedetik nyawa saudarimu itu, karena selalu ada jalan setelah kebaikan. Kita harus keluar dari bangsal ini, kita harus ke ruang VIP agar penanganannya bisa lebih cepat. Semua sudah tahu prosedural itu. Jadi apapun akan kujual, bahkan matipun ayahmu ini rela, demi pengobatan yang lebih baik. Penanganan pengobatan di bangsal ini terlalu lambat, mereka itu semua seperti tidak perduli, dan kau tahu mereka, dokter-dokter muda itu bahkan masih latihan.”

Pilihan
Anak Sulung : “Bersabarlah, sewa ruangan dan biaya perawatan di kelas itu perharinya sangat besar, sedang  dia butuh waktu lama, kita tidak akan sanggup. Kita bisa mengusahakan jalan lain.”

Ayah : “Tak ada jalan lain lagi, kalau tanah itu dijual, minimal adikmu bisa langsung ditangani oleh dokter ahli, bahkan kita bisa memilih siapa dokter yang akan menanganinya. Penyinarannya pun tentu bisa lebih dipercepat. Semua tahu itu. Itu saja dulu yang kita lakukan, dan apa yang terjadi setelah itu barulah kita serahkan ke tangan Tuhan.”

Anak bungsu : “Tanah bude saja belum kita tebus.”

Ibu : “Budemu itu nggak apa-apa, dia amat sayang padanya, kapan-kapan pun kita tebus dia tidak akan marah, dia sudah merelakannya.”

“Siapa bilang,” Sisulung menggerutu sambil membanting botol aqua mengenai tiang-tiang dingin yang sedari kemarin telah bosan mendengarkan perdebatan mereka. Dia meremas rambutnya. Lalu, sama seperti hari-hari biasa, belum juga ada sebuah keputusan. Dan seperti lari estafet, barangkali akan dilanjutkan esok hari, demikian seterusnya.

Yang Menentukan
Seperti pasien-pasien lainnya, terutama orang yang berpenyakit kanker yang berada di kelas Bangsal, menunggu dan menunggu adalah keharusan karena ketiadaan. Mereka harus lebih bersabar dari yang berada di ruang VIP. Kemotherapi, Radiologi, dokter yang mumpuni adalah mimpi untuk impian yang selalu tertunda. Dokter-dokter muda di kelas bangsal lebih banyak memegang handphone daripada memegang pasien. Kurasa mereka harusnya buka warung servis HP atau jual voucher.

Kalau kalian mau penanganan medis yang lebih baik, mendaftarlah di ruang VIP, meski tetap menunggu, setidaknya kau temukan udara sejuk, air aqua panas-dingin, suster yang cantik dan segudang janji manis bertabur senyum yang bertebaran di sana-sini.

Telah Ditentukan.
Beberapa hari kemudian. Di lorong rumah sakit terdengar jerit dan isak tangis. Si sulung dan rekan-rekan bertangisan dengan sangat keras, mengalahkan suara dari mike TOA si penjual roti. Suara mereka memecah keheningan dengan kesedihan yang tiada tara. Sekali lagi kesedihan yang tiada tara.

Sang ayah membatu berdiam diri, tak bergeming, tak ada suara, tapi air matanya berjatuhan juga. Sekali waktu ia menatap anak-anaknya dan saudara-saudaranya bergantian, lalu tatapannya dialihkan jauh menembus lorong rumah sakit yang kaku. Dalam diamnya ia lama menangis, tapi kutahu tangisnya bukan lagi untuk anak yang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya.

PiS “Sardjito, Desember 2010″\Untuk sebuah Keluarga

From : www.Maryati.net

line twilight

Luka Lainnya :

line twilight

Puisi

Jalan ke Calcutta, kunamai Theresa
Jalan ke Kali Code, kunamai Wijaya
Jalan ke Sastra, kunamai Whitman
Jalan ke Nada, kunamai Dylan
Jalan ke Abu-abu, kunamai Lennon
Jalan ke jaringan otak, kunamai Plato
Jalan ke Tuhan, kunamai Doa

Jalan ke rumah kita, kunamai Sunyi
Jalan ke rumahmu, kunamai Usai
Maryati, di sini kau tidur selamanya
Jalan ke hari-hariku kunamai apa?

(PiS)

English : Poetry

Poetry

The way to Calcuta I give name Theresa
The way to Kali code I give name Romo Manung
The way to literature I give name Whitman
The way to Tone I give name Dylan
The way to Abu Abu I give name Lennon
The way to brain I give name plato
The way to God I give name pray
The way to our house I give name quite
The way to your house I give name end
Maryati, here you are sleeping forever
what is the name of the way to my days ?

Indonesian : Puisi

Komitmen 1

Komitmen itu adalah matahari
terbit setiap pagi dan pulang setiap senja
Komitmen itu adalah bulan
datang menjelang gelap dan hilang setelah malam
Komitmen itu adalah sepi
ia datang semenjak kau pergi
Komitmen itu adalah sunyi
ia ada meski bunga-bunga yang ditabur sudah layu
meski tanah tidurmu sudah kering

Komitmen itu bukan ratap – isak tangis
ia sudah tidak ada semenjak engkau kesakitan

.

Komitmen itu adalah selamat jalan sayang
Dan jangan datang-datang lagi dalam mimpiku
atau
anganku…

(PiS)

Mirae (Kiroro)

Hora Ashimoto wo mitegorankore ga
Anata no ayumu michi
Hora, mae wo mitegoran
Are ga anata no mirai

Haha ga kureta takusan no yasashisa
Ai wo idaite ayume to kurikaeshita
Ano toki wa mada osanakute imi nado shiranai
Sonna watashi no te wo nigiri issho ni ayunde kita

Yume wa itsumo sora takaku aru kara
Todo ka nakute kowai ne dakedo oitsudzukeru no
Jibun no SUTO-RI dakara koso akirametakunai
Fuan ni naru to te wo nigiri issho ni ayunde kita

Sono yasashii sa wo toki ni wa iyagari
Hanareta haha e sunao ni narezu

Hora Ashimoto wo mitegoran
Kore ga anata no ayumu michi
Hora Mae wo mitegoran
Are ga anata no mirai

Sono yasashii sa wo toki ni wa iyagari
Hanareta haha e sunao ni narezu

Hora Ashimoto wo mitegoran
Kore ga anata no ayumu michi
Hora Mae wo mitegoran
Are ga anata no mirai

Hora Ashimoto wo mitegoran
Kore ga anata no ayumu michi
Hora Mae wo mitegoran
Are ga anata no mirai
Mirai e mukatte
Yukukuri to aruite yukoh

By : Kiroro

Protected: Tentang Aku dan Kau

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Previous Older Entries

Top Rated