Bangsal…
Berbincanglah seorang ayah, seorang ibu dan seorang anak gadis berumur 14 tahun. Gadis belia itu mengidap kanker, perutnya amat besar, meluluh-lantakkan hati setiap orang yang melihatnya. Tapi mereka menempa kesabaran di tengah kesadaran, kesadaran akan ketidak mampuan, dan kesadaran harus berpengharapan. Kesabaran, sepatah kata yang menyakitkan jika dipakai untuk menunggu penanganan medis di tengah garis tipis antara kesakitan dan ketakutan atau ditengah garis tipis antara kehidupan dan kematian. Pengharapan? Sudah habis di terbangkan pada doa-doa panjang dan alas kemiskinan!
Menahan kesakitan yang tidak terperi, menyimpan rasa takut yang seluas langit, menyembunyikan kesedihan adalah lagu jiwa yang selalu berkumandang berdampingan dengan mimpi dan impian kesembuhan. Lalu kata-kata penghiburan yang basi menjadi lebih terasa menyejukkan daripada menunggu dokter ramah yang tidak kunjung datang…
Sang Ayah :
“Bahwa nyawa semua manusia adalah di tangan Tuhan, kita haruslah pasrah sepasrah pasrahnya, tak ada yang perlu ditakutkan, pengobatan hanyalah usaha manusia belaka, namun Tuhan jualah yang menentukan detik kehidupan setiap umat manusia. Tak perlu menangis apalagi histeris, nikmatilah rasa sakit sebagai karunia dan sekaligus tanda kemahakuasaan sang Khalik. Sembuh atau tidak, tidak perlu kita risaukan, serahkan pada-Nya, yang penting adalah bahwa detik ini kita masih bisa berkumpul, bersyukur dan berdoa. Kita semua berusaha, ayah dan ibu yakin bahwa kamu akan sembuh. Semua tahu, pengobatan sekarang sudah amat canggih.”
Dst…, dst…, dst…
Di lorong…
Pada waktu yang lain lagi, terjadilah perdebatan antara seorang ayah dan ibu, dengan anak-anak di tengah sanak-saudaranya :
Ayah : “Sebagai orang beriman, kita harus percaya bahwa nyawa ada ditangan Tuhan, meski demikiansebagai manusia, kita harus berusaha dengan segenap kemampuan kita. Terlebih aku, ayahnya yang harus merawat kehidupannya. Maka aku meminta dengan sangat agar rencana ayah dan ibu, untuk menjual sawah itu jangan lagi diperdebatkan.”
Anak Sulung : ” Tapi tinggal tanah itulah satu-satunya yang menghidupi kita, semua sudah terjual dan tergadai sejak tahun lalu. Kami rasa usaha kita sejak bertahun-tahun dulu sudah maksimal, kasihan anak-anak dan cucu-cucumu yang banyak itu kalau sampai sawah itupun ikut terjual. Sekarang aja sudah susah, kalau itu juga ikut dijual, bagaimana kita harus membayar kontrak rumah kita? Lalu besok mereka akan makan apa?”
Ayah : “Kalau engkau percaya Kemahakuasaan Tuhan, tak perlu kau cemaskan kelaparan dan hari esok, kalau kau beribadah dengan baik, dan kalau imanmu ada setitik debu saja, kau tak akan berfikir dua kali demi sedetik nyawa saudarimu itu, karena selalu ada jalan setelah kebaikan. Kita harus keluar dari bangsal ini, kita harus ke ruang VIP agar penanganannya bisa lebih cepat. Semua sudah tahu prosedural itu. Jadi apapun akan kujual, bahkan matipun ayahmu ini rela, demi pengobatan yang lebih baik. Penanganan pengobatan di bangsal ini terlalu lambat, mereka itu semua seperti tidak perduli, dan kau tahu mereka, dokter-dokter muda itu bahkan masih latihan.”
Pilihan…
Anak Sulung : “Bersabarlah, sewa ruangan dan biaya perawatan di kelas itu perharinya sangat besar, sedang dia butuh waktu lama, kita tidak akan sanggup. Kita bisa mengusahakan jalan lain.”
Ayah : “Tak ada jalan lain lagi, kalau tanah itu dijual, minimal adikmu bisa langsung ditangani oleh dokter ahli, bahkan kita bisa memilih siapa dokter yang akan menanganinya. Penyinarannya pun tentu bisa lebih dipercepat. Semua tahu itu. Itu saja dulu yang kita lakukan, dan apa yang terjadi setelah itu barulah kita serahkan ke tangan Tuhan.”
Anak bungsu : “Tanah bude saja belum kita tebus.”
Ibu : “Budemu itu nggak apa-apa, dia amat sayang padanya, kapan-kapan pun kita tebus dia tidak akan marah, dia sudah merelakannya.”
“Siapa bilang,” Sisulung menggerutu sambil membanting botol aqua mengenai tiang-tiang dingin yang sedari kemarin telah bosan mendengarkan perdebatan mereka. Dia meremas rambutnya. Lalu, sama seperti hari-hari biasa, belum juga ada sebuah keputusan. Dan seperti lari estafet, barangkali akan dilanjutkan esok hari, demikian seterusnya.
Yang Menentukan…
Seperti pasien-pasien lainnya, terutama orang yang berpenyakit kanker yang berada di kelas Bangsal, menunggu dan menunggu adalah keharusan karena ketiadaan. Mereka harus lebih bersabar dari yang berada di ruang VIP. Kemotherapi, Radiologi, dokter yang mumpuni adalah mimpi untuk impian yang selalu tertunda. Dokter-dokter muda di kelas bangsal lebih banyak memegang handphone daripada memegang pasien. Kurasa mereka harusnya buka warung servis HP atau jual voucher.
Kalau kalian mau penanganan medis yang lebih baik, mendaftarlah di ruang VIP, meski tetap menunggu, setidaknya kau temukan udara sejuk, air aqua panas-dingin, suster yang cantik dan segudang janji manis bertabur senyum yang bertebaran di sana-sini.
Telah Ditentukan.
Beberapa hari kemudian. Di lorong rumah sakit terdengar jerit dan isak tangis. Si sulung dan rekan-rekan bertangisan dengan sangat keras, mengalahkan suara dari mike TOA si penjual roti. Suara mereka memecah keheningan dengan kesedihan yang tiada tara. Sekali lagi kesedihan yang tiada tara.
Sang ayah membatu berdiam diri, tak bergeming, tak ada suara, tapi air matanya berjatuhan juga. Sekali waktu ia menatap anak-anaknya dan saudara-saudaranya bergantian, lalu tatapannya dialihkan jauh menembus lorong rumah sakit yang kaku. Dalam diamnya ia lama menangis, tapi kutahu tangisnya bukan lagi untuk anak yang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya.
PiS “Sardjito, Desember 2010″\Untuk sebuah Keluarga
From : www.Maryati.net
Luka Lainnya :
- Bangsal, Lorong Pilihan Yang Menentukan
- Olenka, Si Matahari Pagi (Awal…)
- Olenka, Si Matahari Senja
- Olenka, Si Matahari kecilku
- Olenka, Rinduku Seabad Padamu
- Olenka, Untuk Tiga Tahun
- Sangam House, Citarasa Dibalik Pintu Tebal
- Senja, Kenangan dan Aku
- Tuhan, Selembar Daun Kuning dan Kau = abadi
- Inilah Hidup..!! Tanpa Sepatah Kata
- Jemari Tuhan dan Sang Waktu
- Milas, Citarasa dibalik Vegetarian
- Soma Yoga, Vegetarian & Citarasa
- Maaf, Kalau Masih Mungkin…
- Tadi pagi
- Milas, Belajar Menyapa