Love is God’s Gift

Love is God's most beautiful Gift and God's most mystery Gift
Love Is God’s most beautiful Gift and God’s most mystery Gift (PiS, 13.07.12, Foto Jalan Godean)

MENCARI MUSIM

“Gantilah musimku.”
Demikian pinta gersangku pada-Mu Tuhan
karena aku ingin menaman rumput hijau
agar menjadi paru-paru baru bagi kemarauku

(PiS 210212, “Terik”)

Sahabat-sahabatku adalah Padi Kehidupan

Sahabat-sahabat adalah padi kehidupan. Semakin banyak kita menyemai, akan semakin  banyak yang bisa kita tuai. Sahabat-sahabatku yang baik adalah padi yang bernas berisi. Mereka menunduk menyerahkan bulir-bulir padi bernas berisinya bagi kehidupan. Dan bagi sang pencipta. Aku ingin selalu menjadi padi yang bernas berisi itu. Merunduk bersama padi-padi lainnya tanpa memilih sawah di mana kami akan tertimpa panas matahari, kotor bersama lumpur yang menyedihkan tapi juga akan menguatkan. Tertiup angin kencang yang kelak akan menjadi kenangan tak terlupakan. Tergerus air hujan tapi kelak akan menjadi gizi pembentuk jiwa yang kokoh.

Sahabat-sahabatku yang baik adalah padi kehidupan yang bernas berisi, yang tunduk sujud pada Pencipta, tunduk rela pada sesama. Sahabat-sahabat yang baik, hidup tanpa memilih-milih sawah, bersama-sama menggantang terik mentari,  bersama-sama membenteng angin kencang, bersama-sama menantang hama kehidupan.

 Sahabat-sahabatku yang baik akan selalu datang dan pergi, dalam bentang rentang waktu kehidupan. Tapi kenangan akan selalu di tinggal di sawah batin menjadi bibit untuk selalu memperbaiki diri menyambut sahabat-sahabat baru kelak.

 PiS 25 Oktober 2011

Work is Like A River

All works are like a river, I can make them in equal,  fight them,  be followed by their flow or race to the downstream.

I can also enjoy them  by getting out from their water once then take a sun bath, enjoying a piece of bread, hot coffee, making love with the wind, counting the stems of tree or writing a story in my diary part by part.

 The work is really like a river, I can forget the time, submerge and swim in the water. Getting a lot of fish and some kind of grass to make jelly, sniffing the plankton into my lungs even I don’t know its benefit for my body or taking the decorated stone which sometime it is not useful so for my life except for fun anyway.

 Ok…, the work is like a river. I can arrange it orderly in the world of my life, or no to be realized, forget about the time and when I get out I find my self to be wrinkled and coldness.

Indonesian : Pekerjaan itu seperti sungai.

PiS, August 26 2001.

 

Laki-Laki Atau Perempuan? (2)

 “Laki-laki atau perempuan?” Itulah pertanyaan yang pertama kali diajukan pada seorang ayah ketika seorang ibu baru saja melahirkan. Semua teman-teman dan sanak-saudara mengajukan hal itu sebagai yang perdana, jadi bukanlah tentang kesehatan ibunya. Pertanyaan kedua yang menyusul barulah tentang kondisi kesehatan sang ibu.

Dan seorang ayah akan dengan sangat gembira, berbinar-binar, ceria jika anak yang dilahirkan tersebut adalah seorang anak laki-laki. Tentu saja tetap akan bahagia jika anak yang lahir adalah seorang perempuan, namun dalam kadar yang berbeda, dan besarnya perbandingan itu hanya dia dan Tuhan yang tahu. Dalam kapasitas kadar ini, jangan kau tanya pendapatku yang “sebenarnya” ketika anakku yang baru lahir ternyata adalah seorang anak perempuan. Ibunya akan sangat marah, semua anak perempuan yang terdengar akan hal ini pun akan bersatu padu mengutukiku dan menjadi sangat kecewa terhadap jawabanku itu. Pada awalnya tentunya, sebelum akhirnya aku akan bersusah-payah membuat alasan-alasan pembenar yang kurangkai sedemikian rupa demi menenangkan hati semua orang yang sempat akan menggebuki para kaumku yang turut mengacungkan jempol atas kejujuranku itu.

Dan inilah pengalamanku, bahwa meski seorang ayah selalu bilang laki-laki atau perempuan sama saja, tapi beberapa atau boleh dikatakan banyak diantaranya yang tidak akan bisa menyembunyikan sekelumit rasa kecewanya dari mataku. Jangan salahkan aku bila dia akan lebih gembira ketika anak itu lahir sebagai laki-laki. Bahwa anak bayi laki-laki adalah impian kaum ayah benarlah adanya, bahkan sering terjadi untuk anak yang kedua dan ketiga sekalipun. Dan aku sendiri, dulu sangat berharap bahwa anakku yang baru lahir adalah seorang anak laki-laki. Ketika yang lahir itu ternyata bukan bayi dengan jenis kelamin yang kuidam-idamkan, aku tetap gembira dan bersyukur, dengan sedikit usaha memendam impianku tentunya, karena kekecewaan itu toh sempat terlintas walau cuma beberapa saat. Gembiraku tidak full seperti beberapa temanku yang bahkan hingga berjingkrak-jingkrak kegirangan dan rela beberapa gelas atau piring hiasnya pecah di lantai demi membayar kegembiraannya itu.

Untuk hari-hari selanjutnya, sebulan atau beberapa bulan, apalagi beberapa tahun setelah kelahirannya, amat baguslah kalau kau bertanya perasaanku yang sebenarnya tentang kelahiran seorang bayi perempuan. Karena jawabanku pada saat itu akan membuat semua anak perempuan di penjuru dunia akan iri pada bayi mungil perempuan milikku itu. Rasanya 24 jam sehari terlalu sedikit bagi kami berdua, belum lagi jatah waktu harus dibagi buat ibunya, saudara, teman atau dunia internet yang terlalu banyak menyita waktuku. Dan kau akan butuh kalkulator khusus agar bisa menghitung jumlah puisi plus foto dan video yang terikut lahir dan kusimpan di komputerku, terlahir karena kelucuan dan kegemasan akan gerak-geriknya.

Bahwa dialah anak satu-satunya dari ibunya yang kucintai sudah tidak bisa lagi dipungkiri dan itu sudah kekal oleh-Nya. Saat ini terlalu sulit untuk memahami kejadian kenapa ada alur cerita yang membuatnya sampai dia bisa tinggal jauh, bahkan berbeda pulau denganku. Kata orang itu semua tergantung atas pilihanku.Tapi terlalu sulit pula, atau bahkan mungkin berlebihan bila harus kukatakan bahwa itu juga sebagian dari keinginan atau kemauan ibunya yang berlawanan dengan semua keinginan orang. Tapi kutahu perempuan bijaksana itu benar, memahami isi sudut hatiku dan karakter isi kepalaku. Jadi dia bilang, “Bla…bla…bla…bla…bla…., sabarlah sebentar dan hanya kau yang tahu kapan waktunya, lalu jemputlah.”

 Untuk hari-hari terakhir ini, anakku itu, hanya dialah tumpuan kasih sayangku. Tumpuan rasa gelisah  dan rasa resahku. Membuatku semangat atau melemah. Ia membuat kerinduanku bertumpuk dan bertumpuk hari demi hari. Namun karena itu pula maka makna sebuah sms yang datang darinya sudah setara dengan sebuah kegembiraan seorang ayah atas kelahiran seorang bayi laki-laki. Semoga Tuhan menunjukkan jalan yang lebih lapang bagi pekerjaanku dan menunjuk suatu tempat bagi kami agar bisa mengikatkan dan meraut kembali saling berbagi kasih sayang tanpa sebuah jarak lagi di antara kami berdua.

 Anakku, saat ini aku sangat merindukanmu, akan tetapi seorang laki-laki, apalagi yang telah dewasa tak baik menangis karena akan menimbulkan pertanyaan, “Laki-laki atau perempuan?”

 PiS Maret 2011, Catatan Harian “KOMA”

In English : Boy or Girl?

Protected: Malaikat yang Turun dari Langit Metropolitan

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Soma Yoga, Belajar Menyapa Yang Bukan di Dunia Maya (1)

The Beginning

Warung Vegetarian Soma YogaSoma Yoga, 31/2 meter, cukuplah untuk sebuah jalan agar orang-orang yang bahkan membawa kendaraan roda empat bisa berkumpul dan berdiskusi di tempat ini.  Sebagian besar mereka berbicara tentang kesehatan dan makanan yang bukan berkaki.  Aku rasa sekelompok anak-anak muda ini adalah dari perkumpulan yang dulu sempat mengajakmu belajar memasak vegetarian di daerah Condong Catur. Ah, aku selalu lupa wajah teman-temanmu.

Sendiri, datanglah seorang gadis cantik berkaki panjang, tinggi, melenggangkan pelan tangan putihnya yang terawat halus, tubuh itu  membawa sepasang mata berbinar yang sangat indah. Meski menimbulkan sekilas misteri bagi yang melihatnya. Ia duduk dengan anggun bersama jemari lentiknya. Wajahnya halus, lembut sebagai sebuah kesempurnaan yang merupakan pahatan dan pulasan kuas dari sang Pencipta. Dua bukit yang indah sempurna tercipta menggunung tanpa menimbulkan pikiran tidak senonoh bahkan dari orang yang punya otak kotor sekalipun. Semuanya,  plus Jazz yang di parkirnya telah megundang seribu tanya tentang  sejumlah daftar biaya-biaya yang dibutuhkan agar mimpi seperti itu bisa di dapatkan oleh seorang ayah buat anak gadis kecilnya yang sangat dikasihinya yang tinggal jauh di pulau seberang. Ah… Olenka kecilku, aku meringis di dalam hati.

Padi & Burung Pipit di Soma YogaHamparan tanaman padi tentulah membantu membuka cakrawala kelezatan tentang berbagai makanan yang berbau hijau bagi orang yang duduk di sini. Tapi, lihatlah padi yang menunduk pasrah pada nasib yang bergantung ke burung-burung pipit yang lincah beterbangan. Meski angin membantu padi menghindarkan sergapan pipit, naluri laparnya selalu menang di atas kelelahannya mwski harus melawan kesabaran angin yang menyayangi bulir bernas berisi dari batang padi sang sahabatnya. Tak terhitung banyaknya batang padi yang harus merelakan sebagian buah kasihnya agar lingkaran kehidupan tetap mengalir sempurna dan sayap bisa tetap berkepak.

 Gadis yang diam seribu bahasa, sesekali dengan lemah, ia melirik majalah kesehatan yang kutaruh di meja. Lalu pandangannya lepas ke Utara. Isi ruang batinnya melayang lewat sepasang mata indah yang terbawa oleh sayap-sayap segerombolan pipit yang terbang tak beraturan. Dia sedang bukan di dunia maya, tapi tidak pula sedang di sini, dia ada di hamparan cakrawala, nun jauh di sana. Dan kalau kau jeli, maka di balik kesempurnaan yang dimilikinya, kaupun akan tahu bahwa ia sedang membutuhkan sebuah bahu untuk bisa sekedar menyandarkan keletihan jiwanya. Dan untukmu kekasihku, kau tahu aku manusia pemalu yang belum mampu melakukan hal-hal semacam itu, meski kuyakin kau takkan melarangnya dengan dalih kemanusiaan. Aku, kan baru belajar menyapa sayang? Dan aku ke sini masih hanya untuk ingin menyapamu. Tapi baiklah demi janjiku itu, akan kucoba.

 Tatapan kami berbenturan, sekejap sesudah ia memandang majalah itu. Darahku berdesir, dan jantungku berdetak hebat, jadi kuangkat majalah kesehatan itu agak tinggi sebagai simbol sebuah tanda tanya meski tak terucapkan. Itu semata hanyalah sebuah respons yang jauh di luar lingkar kesadaran. Matanya memaku pada judul besar di majalah itu.  Ia mengangguk, maka respons yang jauh di luar lingkar kesadaran itu kembali muncul, mendorongku memberanikan diri untuk beranjak membawa majalah yang menurutku beratnya hampir 10 kwintal itu padanya. Bukan aku, namun majalah itulah kelihatannya menyimpan sebuah pengharapan baginya. Sinar tepatnya.

Vegetarian Soma YogaTak ada tempat di meja di antara jus wortel, nasi organik, model daging ayam berbahan jamur dan roti bekatul atau roti jagung.  Aku heran dengan pesanannya yang cukup banyak itu. Jadi dengan hati-hati, majalah kuletakkan perlahan menimpa sebuah list laborat kedokteran. Sekilas di salah satu baris tertulis CAE 5,6 .  Dalam terhenyak, aku telah memahami tentang sebuah kebenaran di atas beribu dugaan. Memahami tentang wajah pucat dengan mata berbinar hanya karena desir kepak burung-burung pipit yang terbang bebas. Memahami pengorbanan padi dan pengorbananmu sebelum aku duduk di sini. Memahami lingkaran kehidupan antara dia, dokter, burung dan batang-batang padi yang merunduk.  Memahami makna sebuah maket dari sebuah situs. Dan memahami bahwa ini bukanlah dunia maya, inilah kenyataan tapi tak perlu ditangisi. Jadi aku mengakhiri pelajaranku tentang menyapa dengan hanya mengangguk-angguk kecil berulang kali ketika dia bilang terima kasih dengan senyum tulusnya yang teramat ramah dan menawan tapi sungguh perih menyesakkan dadaku.

PiS 2011
Sumber : www.maryati.net

line twilight

Goresan Lainnya :

Gerbang, Belajar Menyapa Yang Bukan Di Dunia Maya (3)

line twilight

Mimpi, di antara “White SEO” dan “Black SEO” — bagian 1.

senja kelabu white Seo & Black Seo GoogleAku masih di Kawasan Cileduk. Jam menunjukkan pukul 2.00 dini hari ketika aku terjaga, teringat padamu, duduk dan memikirkan apa yang harus kulakukan pada jam segitu di rumah saudaraku ini. Kurasa aku melamun tanpa kusadari di depan TV yang diam membisu. Aku ketiduran di ruang keluarga dan seseorang telah mematikan TV-nya. Masih kupikirkan apa yang bisa kulakukan, di rumah ini tidak ada sepeda atau internet, buku Ajahn Brahm jilid 2 bahkan sudah dua kali kubaca, buku belajar SEO Google dan Trik SEO sudah sangat jenuh. TV? Aku sudah bosan, selalu hanya tentang si  koruptor Nurdin dan  Partai Demokrat dengan ribuan topengnya. Dan kau tahu sayangku, akan terdengar sangat bodoh bila aku mengatakan kepada satpam penjaga gerbang bahwa aku ingin lari pagi atau jalan pagi. Jadi Aku memikirkan cara menyapa, supaya satpam itu tidak perlu harus memikul dosa hanya karena memakiku dalam hatinya : “Jam 2.00 lari pagi?! mau nyonong kalik ya…?!”

 Di gerbang. Astaga, dia juga ketiduran. Ini artinya aku harus belajar menyapa yang bukan di dunia maya dengan obyek seorang penjaga yang sedang berada di dunia maya-nya. Aku berharap mudah-mudahan dia tidak mementung kepalaku karena membuatnya terjaga dan kaget. Maka dengan sehalus mungkin, bahkan nyaris seperti berbisik aku memanggilnya berkali-kali. Dia akhirnya terjaga, rautnya sedikit kesal, melirik, mulai menyelidiki sudut-sudut mukaku. Tampaknya  dia baru merangkai sebuah pertanyaan, andai saja dia mencarinya di Google atau Yahoo, tentu kami tidak terlalu lama kaku begini.  Dia mulai sadar dan mulai mengenaliku, lalu berusaha tersenyum meramahkan diri. Aku menyentak ransel di punggungku agar posisinya lebih baik, lalu kami berusaha membalas senyumnya dengan semanis-manisnya.

“Mau keluar lagi?” tanyanya ramah.

“Ya pak, mau ke warnet pak. “

“Oh….,” Jawabnya pendek.

 Hening. Tentu tak mungkin kujelaskan padanya bahwa aku ke warnet mau belajar “TRIK-TRIK SEO GOOGLE” atau mau membuat puisi buat kekasih hatiku.  Hal-hal semacam itu, buat sorang penjaga yang masih ngantuk bisa saja justru membuat pentungannya mendarat di kepalaku atau setidaknya malah membuat dosanya bertambah karena mengumpat dalam hati : “Halah, paling-paling kau mau cari video-video bokep, BF, atau foto gadis-gadis cantik yang bugil, peduli amat, aku mau tidur lagi..!!!! Andai pentungannya betul-betul mampir, tentu hilanglah semua “Trik-trik Seo” yang sudah kupelajari dari otakku, sekaligus sarana untuk bisa melupakanmu. Dan untunglah setelah jawaban “Oh….” yang keluar dari mulutnya itu, dia segera beranjak membukakan gerbang. Selesailah percakapan kami. Dengan terbukanya gerbang perumahan itu, kurasa belajar menyapaku yang bukan di dunia maya, telah berakhir dengan cukup baik.

 Satpam itu, aku yakin dia memperhatikan punggungku hingga aku menghilang di keremangan. Aku berusaha untuk tidak menoleh ke belakang, apalagi melambai. Takut justru dia curiga dan malah mengejarku. Aku juga berusaha untuk tidak memikirkan apa yang ada di dalam benaknya ketika aku menjauh dengan tas punggungku. Lebih baik pikiranku kuarahkan pada ide trik SEO dan SEO yang baik. Mudah-mudahan dia tidak melaporkanku ke polisi demi mengira tas ranselku berisi kepala seorang gadis yang akan kubuang di kali Ciliwung. Mudah-mudahan semua hanya berupa percikan pikiran-pikiran baik saja, sehingga tidak seorang pun berdosa saat itu hingga semua berjalan baik pula adanya.

 Gelap masih melingkupi kota, suasana masih senyap ketika aku tiba di dekat pasar,  ada satu dua kendaraan beroda dua mulai melintasi jalan-jalan berlubang di daerah Kreo itu. Sekali waktu di kejauhan sayup-sayup terdengar orang berteriak-teriak. Beberapa orang yang sedang menyiapkan dagangannya tidak terlalu memperdulikan akan teriakan itu.  Begitu juga orang di ruko-ruko lain, semua biasa, mereka seperti tak mendengar apa-apa. Semua berjalan hingga senyap kembali leluasa melingkupiku.

 Kulihat langit tak berbintang. Bulan pun tak menunjukkan raganya.  Tiang-tiang besi terlihat dingin-kaku. Lampu-lampu meredup seperti merindukan sesuatu, mereka berbaris hingga jauh, semakin mengecil hingga  hanya menjadi sebuah titik senyap. Kurasa ini hampir jam 3.00 pagi. Kunyalakan lagu “Before The Storm-nya Demis Russos.” Lagu itu mengalun membuai hatiku, melarutkan aku dalam kerinduan yang mendalam padamu. Kupercepat langkahku sekedar ingin melihat sekilas ronamu di FaceBook itu, lagipula aku ingin cepat-cepat melanjutkan artikelku tentang “SEO Google”. Di antara langkah-langkah panjangku masih kuingat kata-kata yang membuatku terjaga tadi malam. Nasehatmu padaku terus saja terngiang. Bukankah itu sudah selalu kucoba? Karena itulah kutulis lagi sequel :
“Gerbang, Belajar Menyapa Yang Bukan di Dunia Maya (3)”.

 .

Cileduk, PiS 28 Juli 2011 (Refisi dari catatan tanggal 26 Juli 2011)

From : http://www.maryati.net
In English : The Gate, Learning To Say Hello Not To Be in The World of Illusion
line twilight

Goresan Lainnya :

Protected :

.

PUISI :

line twilight

Stasiun Senen, Belajar Menyapa Yang Bukan di Dunia Maya (2)

.line twilight

Miss youDi dunia maya berlaku hukum bahwa bisa saja selama bertahun-tahun ini kau mengira bahwa kau telah menjalin komunikasi dengan seorang gadis cantik, pria tampan, FBI, CIA, BIN, penyanyi, aktor/aktris tenar, selingkuhanmu, atau siapalah yang kau senangi, sampai akhirnya kau temui kenyataan bahwa selama ini kau ternyata hanya berkomunikasi dengan seekor monyet berbuntut pendek atau seseorang yang tak akan pernah terbayangkan sebelumnya.”

Hatiku gelisah, menimang-nimang, apakah aku harus merepotkan orang lain dengan membangunkannya pada pagi-pagi buta hanya karena aku khawatir dan resah pada hal-hal yang aku sendiri tidak mengerti tentang apa, kenapa dan untuk apa. Selalu saja setiap sebuah pertanyaan tentang bagaimana menyelesaikan sebuah persoalan lahir, maka ingatanku padamu menjadi dominan, selalu berandai-andai bahwa jika kau ada di sisiku, tentu kau akan menelpon seseorang yang juga selalu saja jauh lebih baik daripada orang yang pernah kukenal atau pernah menjadi sahabatku, lalu seperti yang sudah-sudah, semua akan berakhir dengan baik, sedang kerjaku hanya tinggal mengangkati koper-koper saja.

Aku rasa seseorang di luar sana telah salah menilai, bahwa selama ini aku selalu memanjakanmu, nyatanya, kaulah yang terlalu memanjakanku, kalau tidak, aku tentu tidak akan segugup ini hanya untuk menuju sebuah stasiun yang bahkan sudah kuanggap kuno. Jam 2 pagi, tidak ada masalah dengan jam segitu, kau kan tahu, bahkan untuk tidur di tempat angker pun aku tidak akan pernah takut, karena aku selalu mengagungkan logika berfikir melebihi mistik atau perbuatan jahat apapun. Tapi kurasa bukan karena semua itu, barangkali kesepiankulah yang mendorongku untuk menyapa, mungkin aku butuh teman ngobrol di kota yang tidak pernah bisa kupahami ini. Ya, mungkin itu.

Seperti selalu kau bilang, sungguh sangat jarang dalam hidupku, tapi aku melakukannya, menelpon! Tidak secara eksplisit mengatakan supaya aku dijemput. Aku cuma bilang, “Eh, kamu online terus ya, aku akan sampai di stasiun lho sekitar jam 2 pagi. Aku baik-baik saja, kata orang banyak ojek, bemo, taksi kok di situ dst, dst, dst…”

Kurasa dia mengerti, jadi dia menghardik, menyuruhku lebih baik diam, mendengarkan dulu dan menurut saja, lalu memutuskan sendiri secara otoriter, akan berada di sana sebelum aku tiba. Kurasa seperti biasa, ketika kami berdebat di dunia maya, dia mulai keras padaku. Tapi keras yang ini membuatku merasa senang, karena aku betul-betul merasa diperhatikannya.

Aku tersadar dengan kata-kataku sendiri yang selalu bilang, kita harus berpikir jauh ke depan. Harus hati-hati tentang sebuah keputusan. Namun tentang temanku ini, baru detik ini kusadari, lalu muncullah ke khawatiran itu dalam hatiku. Kutenangkan diriku sendiri, bukankah dia juga cuma makhluk Tuhan semata? Bukankah kami sudah saling kenal bertahun-tahun di dunia maya, dan bukankah aku yang pertama kali mencoba bersapa dan bertukar no HP dan ingin ketemu di dunia nyata dan itu baru kemarin pagi? Tapi tunggu dulu, bukankah dia juga yang selalu mengkritikku habis-habisan? Bukankah dia yang selalu memulai perang argumen pedas? Bukankah dia yang memaki-makiku membabi buta hanya karena aku menulis tentang  seorang Cat Steven dengan lagu “Morning Has Brokennya.” Padahal aku hanya mengatakan bahwa lagu itu telah menjadi jembatan antar kita yang berdiri di jurang-jurang pemisah yang sangat dalam? Bagaimana jika dia ternyata masih menyimpan sebuah dendam? Dst… dst…

Ah, sudah terlanjur. Jadi kuangkat tasku, turun dari kereta, celingak-celinguk dan mulai memiss call ke sana sini berulang kali, sampai akhirnya pada waktu yang tepat kulihat seseorang mengangkat HP nya. Tak begitu jauh dariku. Astaga naga mudah-mudahan bukan itu orangnya. Pasti bukan, badan gituan bukanlah badan seorang blogger yang mengerti masalah-masalah seputar SEO dan Google Adsense. Jantungku berdetak. Kurasa aku keringat dingin. Itu kepala apa bukan ya?

Dia melambai, mulai mengenali, mungkin dari icon kaca mataku di blog-blogku, ya, kurasa dialah orangnya, tapi mana mungkin, masak aku mesti curhat tentang “cinta dan kerinduan” dengan orang bermuka sangar dan tangan penuh tato begitu. Astaga apa yang sudah kulakukan ini. Pikiranku bergelimang dengan kabut pertanyaan plus dugaan-dugaan. Demi langit, bulan dan bintang, bolehkah diulang kembali aku masih di gerbong dan tidak jadi menelponnya?

“Hah, si abang!” Teriak lantang. “Pastilah kau orangnya!”, suaranya agak keras memecah keheningan  sambil mematikan HP. Jakunku naik turun, ketika mengiyakan. Jangankan aku, para preman Stasiun Senen ini kurasa jadi gugup, menyelamatkan muka demi mendengar dan menoleh ke wajah si empunya suara. Jabatannya sangat keras. Rambutnya itu, daripada milik seorang blogger cerdas, barangkali lebih tepat kalau kukatakan cuma dipinjam dari seorang pengamen jalanan yang nggak mandi ribuan tahun lamanya. Ih…, itu bukan kepala, tapi segerombolan rambut.

Semua pada akhirnya berjalan dengan poin yang menurutku sangat baik. Dia bahkan mentraktirku makan, yang belakangan kusadari telah kubayar dengan sejumlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang apa sebetulnya yang terjadi setahun belakangan ini. Kenapa aku lenyap dsb. Apakah aku masih punya rasa nasionalis itu, apakah aku memusuhinya, apakah kami akan bertemu lagi, apakah aku akan mencari istri lagi, apakah tulisannya bagus, apakah, apakah, apakah…. begitulah. Lalu dialah membayar makan dini hari kami. Dia mengatakan juga, nggak nyangka mukaku cuman seperti ini. Katanya lagi, mukaku amat kontradiksi dengan artikelku, dan dia bilang aku lebih cocok kalau berambut gondrong. Dia mengantarku hingga di mulut gang sambil mengatakan rindu akan tulisanku tentang negara yang kita sayangi ini. Negara yang kita sayangi?! Seumur-umur aku nggak bakalan  percaya dia mengucapkan itu kalau tidak kudengar dengan kupingku sendiri dan dari mulutnya sendiri. Huh…, dunia  sudah kebalik-balik kataku dalam hati.

Bulan dan matahari bergantian menyapa bumi. Maya dan nyata bergantian menyapaku. Aku menoleh ke belakang sekali lagi, masih gelap gulita ketika samar-samar ia menjauh membawa badannya yang besar itu. Di kejauhan, gedung-gedung dalam gelap kelam penuh dengan cahaya-cahaya kecil, sangat mirip dengan bintang-bintang langit di Alun-alun yang sudah menempel di hati kita. Seperti biasa, aku mengingatmu kembali, utuh seperti hari-hari sebelumnya. Di tengah kerinduanku padamu dan kesepianku, di tengah rentang gelap yang panjang, kau tentu tahu apa yang dikatakan para gedung tinggi berkelap-kelip itu padaku. Ya, itulah yang dikatakan gedung-gedung itu padaku.

.

PiS, Cileduk 27 Juli 2011

.

NB : Aku tiba di stasiun senen pd tgl 25072011
lalu catatan ini dibuat dicicil di tengah kesibukan
sebuah pesta pernikahan.

In English :
Senen Station, Learning To Say Hello Not To Be in The World of Illusion (2)

line twilight

Kerinduanku Menyentak Hatiku Untuk Terjaga dari dunia Maya, Lalu Menulis :

Protected :

.

PUISI :

line twilight

Semenjak kau pergi (2)

Semenjak kau pergi,
kurasakan hidupku seperti air hilir yang ingin ke hulu

Semenjak kau pergi,
Aku meratap mencoba melewati tembok kerinduan

Semenjak kau pergi,
Langkahku terpatri oleh paku kenanganmu di bumi Jogja

—————————-
PiS, 27062011
—————————-

In English : Since You’ve Go (2)

Semenjak kau pergi (1)

Semenjak kau pergi,
aku memanen kerinduan di ladang peradaban

Semenjak kau pergi,
kusemai kata maaf  di atas  khilaf

Semenjak kau pergi,
aku meletakkan kesabaran melebihi kesadaran

Semenjak kau pergi,
aku mengumpulkan  imajinasi ke lingkaran improfisasi

Semenjak kau pergi,
aku meletakkan memori bersanding mimpi

Semenjak kau pergi,
hatiku terlapis dendam seperti besi dalam garam

Semenjak kau pergi,
Kecantikan hanyalah polesan

PiS 27062011

Olenka, Si Matahari kecilku

line twilight

Olenka, Si Matahari Kecilku!
Tadi malam hingga matahari mulai terbit, detik-detikku teramat menggelisahkan, hatiku dibilas beribu pertanyaan, angin apa gerangan yang bertiup di pulau sebelah. Apakah kau bermimpi buruk dan menakutkan? Apakah kau sedang dirundung rindu pada kami berdua? Atau Apakah mereka menggelisahkanmu?

Ah… Olenkaku, Si Matahari Kecilku, seandainya aku di situ, atau kau yang di sini, tentu aku tidak akan susah-susah mencari kata memaknai apa yang menggelisahkan tik tok tik tok jamku malam ini.  Sungguh berat aku memikirkan ucapan selamat tidurmu yang terasa lemah menjuntai di bawah purnama belia. Rembulan muda malam ini penuh keceriaan, sementara wajamu redup di balik nada kata-katamu, “Aku baik-baik saja.”  Tidak sayangku, bicaralah Matahari kecilku. Andai kau di sisiku, tentu pelukku akan melindungi tidurmu dan membuaimu melewati malam demi malam menuju pagi demi pagi berikutnya.

Olenka, Si Matahari kecilku,
Beterbangankah senyummu pagi ini di taman itu? Ataukah kau termenung tentang bentangan sayapmu yang telah menghinggapkan tapakmu di seberang lautan? Apakah kau kecewa tentang kasih yang patah dan terbelah di angka 8 itu? Bergembiralah matahari kecilku, Di dalam liburanmu kali ini, kuharap liburkan jualah hatimu dari seluruh galau dan kesedihanmu. Lemahkan signal-signal resah yang selalu kau kirim ke hatiku, mulai hari ini kuharap itu semua menguap oleh terbitnya mentari yang pagi ini sangat garang. Berlarilah ke taman, terbanglah di bunga-bunga dan berayunlah menyambut angin harapan yang selalu bertiup sempurna setiap hari.

Olenka, Si Matahari kecilku,
aku gelisah,
semakin gelisah,
sungguh gelisah,
Ah, lebih baik kuakhiri tulisan ini,
Aku ingin menelponmu.
Tunggu, sebentar ya sayang ya….

—————————-
“PiS” 18 Juni 2011
—————————-

www.Maryati.net

In English : Olenka, My Little Sunline twilight

Luka Lain :

line twilight

Gerhana

Gerhana Bulan

Gerhana Bulan

Gerhana?
Sayang, sama seperti hidup ini, nggak semua kamera bisa nangkap dengan baik, nggak semua mata bisa menyimak dengan seksama, dan nggak semua hati bisa merasa dengan sempurna.

In English : Full Moon

(Pis,16062011)

Tuhan, Selembar Daun Kuning dan Kau = abadi

Dengan hati-hati, kugenggam selembar daun kuning yang luruh ke bumi. Terbersit gelepar resah di hatiku, namun sedikit terhibur ketika akar berkata dalam nyanyiannya, “Janganlah risau, seperti biasa, jemari pohon akan mencatatnya ke dalam kekal, lagi pula daun kuning hanyalah beban atas cengkramanku ke bumi kehidupan demi si pohon.”
Ya aku harus yakin,  meski dulu dan kelak ada jutaan yang telah dan akan berguguran lagi, pohon tidak akan letih mengabadikannya, karena dia sadar bahwa selembar daun itu pernah ikut andil menenun selnya ke batang agar pohon menjadi lebih kokoh  dan menjadi lebih abadi.
Tuhan mengasihi akar itu
juga pohon itu
tapi Ia jauh lebih mengasihi si daun kuning

Dengan hati-hati kugenggam selembar daun kuning, tapi terlepas, terbang, tersapu, terhempas oleh angin kencang. Si angin berbisik padaku, membela diri dan berkata, “Musim berganti, musim berganti, tumbuh dan jatuh harus berganti, itu karmanya.”
Debu-debu menyatu menjadi gundukan,  menimbun si lembar daun kuning. Si debu berbisik padaku membela diri, berusaha meyakinkanku, “Takdirnya tiba, aku berdoa agar daun kuning itu diterima di sisi-Nya dan agar pohon ikhlas dalam heningnya.”
Aku menghela nafas dalam-dalam, butiran iman membasuhku, terasa di nadiku si daun kuning akan menjadi humus, maka satu elemen kecil akan terserap ke nadi kehidupan. Kehidupan menjadi lebih kokoh dan menjadi lebih abadi.”
Tuhan mengasihi angin itu
juga debu itu
tapi ia jauh lebih mengasihi si daun kuning

Kugenggam kenanganmu erat di pucuk hatiku. Kutebar dalam detik-detik yang mengalir di tiap detak jam dan tumpah ruah di helai kanvas langitku. Dulu, ingin kurawat dan kujaga si daun hijau dari angin dunia yang dia bilang selalu meresahkan. Tapi kini kau hanyalah daun kuning itu. Angin dan waktu selalu berkuasa lalu menang di atas kita. Kunyanyikan, kucatat, kubisiki, kuyakinkan diriku, bahwa kau baik-baik saja di Sana mengepak sayapmu, sedang aku berjuang tertatih-tatih agar terlepas dari menjadi kekasih bayangmu. Kini orang-orang merasa khilaf karena merentang sabarnya di jalanku, sebagian geram membendung amarah, sebagian lagi, heran, risih, dan aku bisa bernafas karena segelintir ikut larut digemulai layar lukaku dan ikut mendayung pada samudera kesepian. Entah kenapa aku harus perduli bagi apa yang tak mampu mereka maknai tentang selembar daun kuning dan kau.  Nasehat mereka bagai peluru gemerincing bertubi tentang iman, menghujaniku dari ribuan arah, tapi semua kata terasa hampa bagiku dari orang yang bukan kau. Mungkin benar aku kurang memahami dalamnya lautan tentang iman, karena dayungku patah oleh pisau rindu yang kau tinggalkan di sini. Tapi pelangimu masih saja kuabadikan di jiwaku, karena kaulah warna terluas di ribuan kanvasku, semoga  itu menjadikanku lebih kokoh, walau tanpamu, aku lelah menjadi lebih abadi.
Tuhan mengasihi orang-orang itu
juga hatiku ini
tapi Dia jauh lebih mengasihimu, Mar…

———————————————————————-
By : PiS –  Gerhana dini hari, 16 Juni 2011
from : www.Maryati.net
———————————————————————-

line twilight
Luka Lain :

line twilight

Jemari Tuhan dan Sang Waktu

Ketika Tuhan menjentikkan jemarinya, kematian menjadi pernak-pernik yang bertaburan di antara kita. Kesadaran akan kesalahan masa lalu seperti bangun dari tidur panjang. Penyesalan agar waktu mundur ke belakang adalah mimpi dan selamanya tetap akan menjadi mimpi meski tangis menjadi-jadi. Pada akhirnya  hanya tertuang dalam dua bentuk, doa yang berbuah hikmah atau protes pada Tuhan yang merusak jiwa.

Renungkan, air bah yang berlulang kali melimpah bertanding dengan air mata yang tak berkesudahan. Rumah lux dan gubuk reot bernilai sama pada akhirnya. Sebagian ada jua yang protes, menurut mereka, “Bagaimanapun rumah lux lebih punya kekuatan, berkat beton dan tulang besinya seringkali mampu meminimalisir kematian atau derita dari penghuninya. Bandingkan dengan gubuk yang tiang-tiangnya justru semakin mematikan, menjadikan pancang perajam bagi yang berteduh di sana.” Jadi kecemburuan pun perlahan merayap di antara ketidak berdayaan. Menelikung beberapa isi kepala menjadi jurang sosial yang semakin menganga. Sekali lagi pada akhirnya semua itu akan bernilai sama.

Ketika Tuhan menjentikkan jemarinya, gemetarlah pusat bumi, memacu gemetar jiwa. Meruntuhkan apapun tanpa memilih. Puing-puing, darah, ketakutan dan kematian di sana sini menyebabkan orang melupakan sekelumit perbedaan yang sulit berpadu pada satu titik (sudut pandang politik, budaya, hukum, agama, ras dsb). Lalu kita melihat secara fisik, bahwa tolong-menolong menjadi jembatan gagah yang tampak indah. Sebagian memang ikhlas, namun sebagian lagi terselip jua cita-cita tersembunyi, bantuan yang terlihat dan kedermawanan menjadi kendaraan yang melaju di atas jembatan itu, mencipta keanggunan dan pujian bagi pribadi-pribadi atau golongan gila hormat, lebih menyakitkan ketika mendengar bahwa mereka mendapatkan keuntungan yang memang sebelumnya telah mereka prediksi. Banyak yang menjalaninya dalam perasaan plong, seolah sang Pencipta telah merestui, mengatakan itu adalah bagian dari kucuran keringatnya.

Ketika jemari Tuhan dijentikkan-Nya, hanya sang waktu yang berlaku seperti biasa, dia tidak perduli pada perbedaan apapun, pada intrik selicik apapun, pada tangis sesendu apapun, pada tawa sederai apapun, pada kematian sekelam apapun, kesakitan seperih apapun, pada beribu kelakuan terpuji atau tercela, pada iba yang menghiba-hiba,  pada kau, aku, kita atau mereka, hingga pada jentikan jemari Tuhan berikutnya.

PiS 2011
From : www.Maryati.net

In English : Fingers of God and the Time

line twilight
Luka Lain :

line twilight

Previous Older Entries

Top Rated