Jemari Tuhan dan Sang Waktu

Ketika Tuhan menjentikkan jemarinya, kematian menjadi pernak-pernik yang bertaburan di antara kita. Kesadaran akan kesalahan masa lalu seperti bangun dari tidur panjang. Penyesalan agar waktu mundur ke belakang adalah mimpi dan selamanya tetap akan menjadi mimpi meski tangis menjadi-jadi. Pada akhirnya  hanya tertuang dalam dua bentuk, doa yang berbuah hikmah atau protes pada Tuhan yang merusak jiwa.

Renungkan, air bah yang berlulang kali melimpah bertanding dengan air mata yang tak berkesudahan. Rumah lux dan gubuk reot bernilai sama pada akhirnya. Sebagian ada jua yang protes, menurut mereka, “Bagaimanapun rumah lux lebih punya kekuatan, berkat beton dan tulang besinya seringkali mampu meminimalisir kematian atau derita dari penghuninya. Bandingkan dengan gubuk yang tiang-tiangnya justru semakin mematikan, menjadikan pancang perajam bagi yang berteduh di sana.” Jadi kecemburuan pun perlahan merayap di antara ketidak berdayaan. Menelikung beberapa isi kepala menjadi jurang sosial yang semakin menganga. Sekali lagi pada akhirnya semua itu akan bernilai sama.

Ketika Tuhan menjentikkan jemarinya, gemetarlah pusat bumi, memacu gemetar jiwa. Meruntuhkan apapun tanpa memilih. Puing-puing, darah, ketakutan dan kematian di sana sini menyebabkan orang melupakan sekelumit perbedaan yang sulit berpadu pada satu titik (sudut pandang politik, budaya, hukum, agama, ras dsb). Lalu kita melihat secara fisik, bahwa tolong-menolong menjadi jembatan gagah yang tampak indah. Sebagian memang ikhlas, namun sebagian lagi terselip jua cita-cita tersembunyi, bantuan yang terlihat dan kedermawanan menjadi kendaraan yang melaju di atas jembatan itu, mencipta keanggunan dan pujian bagi pribadi-pribadi atau golongan gila hormat, lebih menyakitkan ketika mendengar bahwa mereka mendapatkan keuntungan yang memang sebelumnya telah mereka prediksi. Banyak yang menjalaninya dalam perasaan plong, seolah sang Pencipta telah merestui, mengatakan itu adalah bagian dari kucuran keringatnya.

Ketika jemari Tuhan dijentikkan-Nya, hanya sang waktu yang berlaku seperti biasa, dia tidak perduli pada perbedaan apapun, pada intrik selicik apapun, pada tangis sesendu apapun, pada tawa sederai apapun, pada kematian sekelam apapun, kesakitan seperih apapun, pada beribu kelakuan terpuji atau tercela, pada iba yang menghiba-hiba,  pada kau, aku, kita atau mereka, hingga pada jentikan jemari Tuhan berikutnya.

PiS 2011
From : www.Maryati.net

In English : Fingers of God and the Time

line twilight
Luka Lain :

line twilight

Leave a comment

Top Rated