Rumah Makan Vegetarian Sangam House
Dulu selalu kuletak setitik pengharapanku di atas meja pilihanmu itu di tempat ini, mencoba memelihara mimpiku : untuk bisa selalu tetap duduk di sisimu, seolah-olah kata “kekal” itu memang ada, laksana keinginanku agar musim ini mampu kuhambat untuk tidak akan pernah berganti. Setidaknya sampai rambutku memutih bersama kulitku yang perlahan mengeriput karena telah sarat menyimpan ribuan makna dalam nadi darah yang semakin mengental dan tinggal menunggu waktu untuk membeku karena telah penuh dengan kenangan tentangmu. Tapi kini aku sadar, semua mimpi itu takkan mungkin terlaksana meski selaksa rindu menyentak ke langit biru sana. Sebuah mimpi hanyalah mimpi, yang akan jatuh dan berakhir ke dalam kubangan kegelapan mimpi juga. Jadi kutahankan saja gemetar dadaku sambil menarik serbet makanku.
Kekasihku, saat aku datang dan kembali duduk di sini, tak ada yang berubah tentang dekorasi indah, begitu juga pernak-pernik yang selalu mencuri perhatian matamu, tak pula banyak perubahanan tentang sudut-sudut yang penuh dengan nuansa seni yang dulu kita resapi secara mendalam. Selalu kuingat saat itu, bahwa sungguh sulit hatiku untuk mampu melukiskan segala yang kita temukan di sini hanya dalam sekumpulan kata-kata pilihan yang bergelimangan dalam temaram lampu redup, tapi kini kusadari, semua itu bisa begitu sempurna karena ianya mengalir bersama binar bening indah matamu yang selalu terkagum-kagum pada ornamen. Juga bilasan keramahan, masih kental bersaput tebaran senyum di sana-sini. Namun kau harus kuberi tahu, kau harus paham, semua itu tak kini tak bermakna setitikpun bagi sekeping hatiku yang telah memaksa langkahkahku berlabuh ke sini. Semua ini hanya membuat nadiku serasa perih oleh sayatan luka dari detak jantungku yang selalu menebar rintihan rindu ke seluruh penjuru tubuhku.
Saat menu vegetarian telah terhidang bersama sekumpulan nama-nama indahnya, instrumental “A Whiter Shade of Pale”pun perlahan mendayu membuai perasaan, mengalunkan jiwaku dalam buaian sendu, gemulai seperti ketika rambutmu tertiup angin sepoi di bukit bintang saat kita menatap kerlip bintang-bintang beradu indah dengan cahaya dari bintik lampu-lampu kota saat malam menuangkan hening ke penjuru dunia. Di buaian nada-nada, kalbuku melayang dalam irisan rasa sepi tak bertepi, ia menemukan awan putih tempat aku dan kau seolah-olah melayang bersama dalam genggam jemari tak terlepaskan. Dalam sekejap kurasa kau telah menjelma datang dan duduk sebelah kiriku, menatapku tak berkedip, membawa utuh rasa cinta yang tulus ikhlas dari ruang batinmu. Saat ini, sungguh terasa kau sedang mencoba memahami makna terdalam dari rasa kehilangan yang tak berkesudahan ini. Kuharap jangan kau biarkan kelembutan jemarimu yang terasa damai dalam senyap yang menghinggapi sanubariku terlepas. Setidaknya untuk beberapa saat lagi. Kau pasti sudah merasakan, bahwa aku merindukan sekumpulan jemari kasih yang takkan luput dari ingatan, jemari yang selau melipatkan serbet makanku di tempat ini.
Detik ini, memanglah sungguh sangat buruk dan memalukan. Dan meski dunia akan mencelaku, tapi takkan ada yang mampu mencegahnya. Ya.., itulah, air mata itu, dan karenanya kurasa tak ada yang perlu kulakukan lagi saat ini, selain melipat kembali serbetku.
(PiS, Sebuah draft dari catatan harian di Medio Mei, “Sangam House 3”)
* Sangam House : Sebuah Rumah makan Vegetarian di Jogjakarta.
www.maryati.net