Malam itu

Malam mengintaikan bulan padaku
tapi mengubur bintang-bintang demi dirimu

(IvanS 2013)

Angin dan Perahu Kecil

Dengan bijaksana angin berbisik : “Kayuh perahu kecilmu, pelan-pelan saja sampai kau tiba di dermaga kehidupanmu. Di arus sungai kau harus merangkai doa yang akan menjadi akar bagimu ke dalam hatinya, kau akan tenang dan menjadi bijaksana setelah larik Amin….”

Alam yang Bijak (1)

Dengan bijak alam menjadikan ulat menjadi kupu-kupu agar mataku terbuka bahwa setelah perenungan perih, jiwaku bisa menggapai kerinduan indah pada Tuhanku dan pada kekasihku. (PiS, Desember 2012)

Serasa Kau Masih Ada

Bila kubaringkan tubuhku, kadang masih terasa kau berada di sampingku. Seperti orang yang  menyimpan banyak cerita, ingin kubacakan padamu sejumlah waktu yang ada dalam genggamanku, semuanya tentang kita.

(PiS, 2012)

Catatan Harianku di 2013

Setiap orang punya jendelanya  masing-masing. Jika kau tidak punya jendela kayu jati di rumah mewah, setidaknya kau punya jendela kayu sengon di rumah sederhana. Jika tidak punya keduanya, setidaknya kau masih punya jendela  hati.

Kuberitahu, kalian jangan masuk dari jendela hatiku, tetapi masuklah lewat pintu rumahku yang sebenarnya, karena jendela hatiku masih tertutup dengan kunci yang masih belum kutemukan. Jangan bertanya sampai kapan, karena aku sendiri tidak pernah memahami “alam waktu”, wajah dan  temperamennya yang sebenarnya.

Jika kau merasa risih, bosan tentang jendela hati ini, izinkan saja dan biarkan aku berlari di dalam alam waktuku, mencoba menghapus jejak-jejak rindu yang masih tertinggal di jalan menuju rumah batinku.

Dan kau yang jauh di sana, “Masih ingatkah kau?”,
“Sedang apakah kau yang tega meninggalkan jejak-jejak rindu itu di halaman batinku?”

“Ah… lemahnya aku tanpamu…!”

(Pis, Riau 2013)

AWAN KELABU DAN BULAN PURNAMA

AWAN KELABU

Seperti awan kelabu yang selalu menutupi Purnama, barangkali hanya aku yang sukar memahami niat yang termaktub di hati kapas-kapas abu-abu itu, entah datang dari mana dan entah apa tujuannya menghalangi cahaya kuning penuh cinta sepenuh hati itu pada kehidupan yang dimiliki bumi.
“Mungkinkah ia ingin agar bayang-bayangnya memenangkan malam?.”
Mungkin juga dia suka dilahirkan lebih menyenangi kegelapan.
Atau mungkinkah ia lebih mencintai keheningan daripada keriuhan?  Karena barangkali cintanya pada keheningan adalah secinta penyair pada kesunyian hanya demi agar butir-butir kata cinta bisa terlahir lebih indah dari apapun lalu merasa akan diterima langit, untuk kemudian disampaikan kepada orang yang tak mungkin kembali lagi.

Atau ia sedang dalam perilaku untuk menarik perhatian sang pengelana yang selalu menyendiri dan menulis seluruh catatan jejak  kakinya pada tuas pengungkit hari tanpa ingat meletakkan rasa lelah pada istirahat sepenggal pun.  Ia adalah egois yang dominan ingin mengisi catatan itu dan selalu memaksa agar di setiap lembar selalu di mulai atau terdapat untaian kata yang menyebut namanya : awan kelabu atau rasa rindu.

BULAN PURNAMA

Dan kau kasihku, tak bisa kupahami bahwa kau selalu datang ke pelupuk mataku kemanapun rodaku kularikan, atau kemanapun langkahku kujejakkan. Goresanmu memang mungkin telah meretas di pupil dan korneaku.  Jadi  di antara desau angin malam,  kuhitung lagi kau yang selalu merona dari satu daun ke dedaunan lainnya pada setiap pohon yang kulewati ketika menyisir helai malam demi helai malam.
Kucoba menghitung kau pada setiap kepak burung yang diam-diam mengibas sayapnya pada bentang gelap. Perasaanku kau di sisiku meski mataku tak melihat kau di manapun kau kucari.

Dan bila kini aku melayang lagi di  jalan Tol Jakarta ,  tak ada yang kucari selain jawaban akan pertanyaan :  “Kaukah yang berbisik di antara cahaya-cahaya kecil yang menebarkan terangnya menjadi kelap-kelip cinta ke langit kosong sana?”

Sungguh hambar perpindahan diriku dari satu waktu ke waktu yang lain dan dari satu tempat ke tempat lain karena rasa ingin bertemu yang tak pupus-pupus selalu terselip di antaranya. Ia menjadi godam ke punggungku sehingga langkahku tersentak ke sana ke mari.

Bila kelak duniaku berhenti berputar, namun aku belum juga bisa menggapai ujung jemarimu, “bisakah kau kembalikan air mataku yang rela tak kuhitung demi membayar rasa rinduku yang tak putus-putus padamu?”

Tak perlu kau persalahkan aku. Karena kutahu aku memang salah, salah dan salah, tapi apalah yang mesti dilakukan seseorang ketika ia telah menjadi  mimpi sebuah bulan Purnama selamanya…! Sementara awan kelabu tak mampu menghalanginya.

Lingkaran Musim

Lingkaran kehidupanku selalu menyingkap kekuatan dan kelemahanku seperti pergantian musim demi musim. Dan aku percaya bahwa setiap musim menyimpan kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri (PiS, Agustus 2012, Green Forest Riau)

Love is God’s Gift

Love is God's most beautiful Gift and God's most mystery Gift
Love Is God’s most beautiful Gift and God’s most mystery Gift (PiS, 13.07.12, Foto Jalan Godean)

Ini begini, itu begitu (By : PiS)

Mungkin semua ini baru bisa begitu dengan harus begini dulu. Tak banyak orang bisa begitu dengan langsung berhasil mendapatkan itu tanpa harus begini. Ini karena proses mendapatkan itu mungkin harus dimulai dengan begini ini. Walaupun dengan begini ini belum mendapatkan itu, itu karena proses untuk bisa begitu memang dibutuhkan ini itu. Bahkan dengan sudah begini begini ini belum tentu bisa begitu itu, apalagi pengin begitu dengan langsung mendapatkan yang begitu itu. Tapi biarpun begitu, walaupun masih begini ini, dan belum mendapatkan yang begitu itu, itupun harus disyukuri. Kita jangan pernah  befikir, kenapa Tuhan memberikan yang bengini, kenapa tidak yang begitu. Jadi begini kawan, pikiran yang begitu itu keliru, itulah yang harus dirubah. Walau masih begini begini tapi soal menasehati yang begitu itu, itulah yang membuatku bisa begini. Makanya yang begini inipun harus kita terima, itu maksudku. Bukan maksudku harus begini-begitu, begini-begitu, bukaaaaan, bukan begitu. Baiklah kawan sudah cukuplah begini dulu. Karena jika harus menceritakan yang begitu-begitu nanti terlalu panjang. Begitu maksudku. (By PiS 06 May 2012, http://www.maryati.net &  Sketsa.co.id

Di 61.000 Km tanpamu

05:11 AM — “Di 61.000 KM tanpamu”
Masih akan kugelindingkan roda-rodaku mencuri jeda antara bangun dan tidurnya matahari, meski jalanku terasa masih buta menuju titik mimpi raksasa yang tidak dibutuhkan oleh hatiku. Sungguh menyesakkan dada ketika otakku sudah mulai bersiasat : “Bukankah ulat bahkan tidak bisa menebak akan jadi apa dia kelak setelah menjadi kepompong? Jadi apa yang kau takutkan? Di sana pasti keindahan itu terhampar.”
Hatiku berkata :”Keindahan itulah yang kutakutkan, karena keindahan adalah awal dari kepak sayap-sayap keangkuhan dan sayap-sayap kesombongan yang kelak akan memenjarakan kebebasan waktu!”
Hatiku dan otakku masih berdebat, tapi roda-rodaku tetap menggelinding… dst… dst… (PiS, 130412, Tambahan manuskrip “Perjalanan #3, Ulat yang rendah hati dan kupu-kupu yang mengepakkan keangkuhan”) with Maryati

“Ikan dan Burung”

3:40 AM. Untuk yang terkasih : Maryati
Kurasa aku seperti ikan kecil di dalam akuarium. Merasa bebas ke sana ke mari, merekahkan sirip-siripnya, lalu meluncur merdeka di antara koral-koral hias, batu, kerikil, dan pasir. Nyatanya hatiku taklah pernah bisa terbawa pergi lebih dari satu meter jauhnya dari tempat engkau menorehkan garis tulus di tugu perasaan itu.

Jadi, begitu kutahu kemerdekaanku hanyalah seukuran akuarium maka akupun mencari bentangan laut, meski ada kekhawatiran bahwa mungkin aku tidak akan pernah sampai ke pesisir pantai sekalipun. Tapi sepanjang aku mencari pemenuhan keinginanku itu, aku akan tetap menyenandungkan rasa syukur dibanding seekor burung dalam sangkar yang bahkan tidak akan pernah beranjak lebih dari dua kali bentangan sayapnya. Aku masih lebih beruntung dengan sirip kecilku dibanding dengan sepasang sayap yang kepaknya tidaklah terlalu memberikan manfaat.

Kau yang membacaku harus mengerti, bahwa aku tak berkeinginan membeli banyak akuarium bagi diriku sendiri seperti mengumpulkan kepingan-kepingan kemerdekaan, hanya agar aku merasa bahwa aku telah memiliki tempat berpindah-pindah untuk menghalau kerinduan atau tempat aku menebarkan butiran-butiran air mata atau kesepian-kesepian yang selalu menghujani malam-malam dingin atau mengiris-iris hingga ke lubuk hati. Hingga aku kelak menjadi bongkok dan tak berkuasa lagi selain hanya mampu bermimpi mendapatkan sayap yang lebih luas, lebih kokoh, lebih bebas merdeka dan lebih bijaksana.

(PiS, 09.04.12 Bahan manuskrip & blog : “Ikan dan Burung”)

KOPI Dan ROTI yang sebenarnya :

Kusentak mimpiku menyambangi ritmis pagi
menyadarkan renungku tentang bintang yang suram
selayaknya aku tak ingin menjejas pada pencarian
yang takkan mungkin kembali

‘pabila kau nanti ke sini dalam secangkir kopi
kuyakin hitam jejak akan larut oleh rintik embun

‘pabila sepotong roti
terhidang ke langkah jiwaku
kuyakin putih hatimu menghias relung perjalananku

Tapi lihatlah aku membatu
Terdiam oleh bisu pengharapan yang mengerucut
karena kusadari, tanpamu! :
“Takkan pernah ada secangkir kopi dan sepotong roti yang sebenarnya itu…”
(PiS, 4 Maret 2012, “KOPI dan Roti 1”)

Like · · Share

Hanya Sebuah Perjalanan

di antara pasir, batu besar, hati yang tak terobati

di antara pasir, batu besar, hati yang tak terobati

5:05 a.m
Telah kulewati batu-batu besar, hamparan pasir panas, ranting-ranting tajam menusuk, mendung, gelap, terik, hujan, dingin malam atau melewatkan kebusukan dan intrik yang ditumpahkan orang-orang pada diriku. Aku telah merangkai pemahaman pada para pemilik hati besi, atau membuka tangan-tanganku bagi penerimaan pada para pemilik hati yang lemah. Hatiku tulus saja melewati semuanya hanya demi menabur waktuku dan keringat dari tubuhku yang tak pernah mau letih. Bagiku semua hanya perjalanan biasa saja, karena kau yang kukasihi sudah tak di sisiku lagi.

Jika langkahku kali ini gagal dan terhenti hanya karena BBM, kuyakin tak akan banyak berpengaruh bagi diriku karena perasaanku. Langkahku refleks saja meniti arah dan jembatan yang di sediakan Tuhan bagiku karena hatiku ternyata tidaklah mau kutaruh di sini di antara batu-batu raksasa, pasir dan sungai yang mengalir deras. Semua memikat tapi ternyata tidaklah pernah mampu mengikat. Dan aku akan tenang saja beranjak dari sini dan meninggalkan jejak-jejakku tanpa perlu susah-susah menoleh ke belakang.

Di antara hitungan matematika yang meskipun dilakukan berulang dan berulang, sudah kutahu semua pada akhirnya hanya bermuara pada kata RELATIF. Dan bila BBM memukul usaha ini dari depan seperti gelinding batu besar yang kejam, aku tak akan merasakan sakit sedikit pun. Karena aku bisa pergi atau terbang kemana saja yang aku suka bersama roda-rodaku.

Ah… kau matematika dan BBM, dari dering HP jam 4 pagi ini, kini baru kusadari ternyata di tempat aku yang hanya hendak membuang bayang-bayang, waktu dan tubuhku yang tak pernah bisa letih, ternyata banyak pengharapan dan mimpi yang mereka tabur. Dan bila hanya karena kegagalan lalu aku pergi melenggang dengan santai dari sini, tentu kebaikan yang pernah kusemai akan menjadi layu dan membusukkan rongga-rongga hidungku, selamanya.

Tinggal beberapa hari lagi, semoga doa-doa mereka terkabulkan. Sehingga tanganku, kakiku dan hatiku di terima Semarang dengan senyum yang kemudian akan kuhantarkan kembali ke sini.

(PiS, 5:05AM “BBM dan Pengharapan”)

MENCARI MUSIM

“Gantilah musimku.”
Demikian pinta gersangku pada-Mu Tuhan
karena aku ingin menaman rumput hijau
agar menjadi paru-paru baru bagi kemarauku

(PiS 210212, “Terik”)

Menarikan Mimpi

Andai kumampu meminjam setitik waktu
tentu sekejap kecup mampir ke keningmu
Andai kumampu memutar kincir waktu
tentu senyap senyum melahap rinduku

Andai kumampu menari dalam mimpimu
tentu rentak hentak menapak merdu
Andai kumampu menyapa sepimu
tentu seribu sendu menjadi lagumu

Karena aku tak mampu,
jadi kucoba menarikan mimpiku

(PiS, 120212, “

Previous Older Entries

Top Rated