Milas, Cita Rasa Dibalik Vegetarian

line twilight

Milas warung vegetarian

Milas = dulu kita, sekarang hanya aku yang  Mimpi Lama Sekali.

Saat senja turun, jalan itu masih saja begitu, Jalan Prawirotaman yang bersahaja, tak banyak suara, tak banyak geliat, ianya hening, dingin menatapku. Tapi tunggu dulu, ada gemericik air, ada sayup-sayup suaramu membaca menu lalu memesan burger tanpa daging. Ya, di sini tabu berbicara daging. Ada angin berbisik sangat pelan sebelum sebuah burger jagung berkhidmat pada sel-sel tubuhku. Ada lagu syahdu beralun, berlalu bersama terbukanya helai-helai buku Ajahn Brahm. Mungkin biksu itu akan senang dengan kehadiranku di sini demi makhluk alam. Ada manik-manik yang kau bolak-balik demi mengingat si kecil. Ada pula buku harian mini yang kau keluarkan dari tas mungilmu.

Milas, taman itu, kesejukan itu, bambu-bambu itu, semua menyatu, mereka berpadu menjadi perkasa, berdiri hendak menghakimiku dengan sebuah pertanyaan tentang alasan mengapa aku di sini. Tapi aku tidak perduli. Bagiku tak pula ada alasan mengapa aku harus menjawab sesuatu pada benda-benda mati itu.

Samar-samar kulihat kau berkaca di kolam kecil di sisi kiri gubuk itu. Wajahmu jernih menari di alunan riak-riak air danau kecil mungil. Alangkah cantik, alangkah memikat, alangkah anggun, demikian lagu angin senja mengalun, memujamu. Ikan-ikan di pojok dengan sabar menunggumu hingga kau selesai merapikan rambut dan bedak tipismu. Sudah lama kau tidak melakukan itu, berdandan, karena dokter bilang itu pisau kematian. Ada semut berbaris menderapkan langkah nisbinya, ada laron terbang gemulai  di antara dedaunan, mereka ingin bersahabat dengan sinar matamu yang terlihat ramah pada lampu-lampu redup ruangan itu. Rangkaian itu semua bagaikan simponi, hingga seorang lelaki dengan berani mendentingkan dawai gitarnya mengusik riak lamunan yang bergelombang ringan. Dia tentu tidak menyangka bagaimana gemuruhnya hatiku terhadap nada terbaik yang dia kerahkan untuk membesut bayanganku padamu. Dawai kawat bagaikan saputan pedang pada lamunan. Huh…, aku mau saja menyukainya tapi tidak pada saat ini. Dulu mungkin ya, atau kalau dia melakukannya di pelataran benteng Vredeburg saat kita duduk berdua tanpa berkata-kata. Selesailah sudah segala sesuatu yang membuai hanya karena dawai sialan itu.

Milas senja itu, dengan lembut tanganmu mengambil helai tissue, mengusap bibirmu yang lama kurindukan. Sudah kenyang katamu pelan. Lalu kau bisikkan terimakasihmu padaku. Kata-kata itu setara dengan seluruh kembang yang ada di jalan Jazuli. Ah, aku rasa sudah lama aku tak mengurai senyumku pada hari demi harimu. Tentunya AJahn Brahm akan menegurku tentang hal itu. Jadi ketika kita akan beranjak pulang, kubawakan tas minimu sembari mengirimkan senyum kecil buatmu, kubukakan pintu dengan hati-hati,  lalu kubersihkan tempat dudukmu.  Ketika kau duduk, kuusap pelan rambutmu dan pipimu, lalu kugamit lenganmu agar engkau tidak melamun. Kustel lagu syahdu yang biasa mengantar kita ke perjalanan manapun. Meski melemah, kau kelihatan semerbak, mekar dan mengangeni bagiku.

Lalu mobil mulai kustater, sebelum berangkat, seperti biasa, aku harus meyakinkan diriku kau baik-baik saja, jadi kulirik kursi itu, kali ini kosong, kau tak duduk di situ. Kemana kau? Rasanya sunyi tiba-tiba mencekam dan mencengkram, hampa melayangkanku, kurasa ini mimpi, mimpi, dan mimpi. Tak kusadari keberadaanku, tubuhku dingin membeku, hingga terasa kehangatan itu mengaliri pipiku mengiringi taburan nada-nada syahdu menyambut  senja kelabu yang semakin menghitam.

Milas, Pis 2011 > Alangkah perihnya hatiku ini…
In English : Milas, The Taste Behind The Vegetarian

line twilight
Luka Lain :

line twilight

Leave a comment

Top Rated