Afrika Yang Resah (Okot p’Bitek)

Sebagian besar pengarang-pengarang belahan dunia terutama Asia, bahkan Afrika, secara sadar atau tidak sadar selalu haluan ilustrasinya bergumul dengan pengaruh kebudayaan barat. Kecil apa tidak, pasti ditemukan pengaruhnya termaktub dalam tulisan-tulisan mereka, bagaimanapun kerasnya mereka berusaha memurnikan alam pikirannya untuk sebuah karya dari pengaruh pihak manapun. Demikian pula dengan Okot p’Bitek, ia tak luput dari hal itu, namun pencarian jati diri di tengah pergumulan dengan pengaruh budaya barat ternyata menghasilkan tulisan yang lebih mematangkan makna sehingga tulisan-tulisannya lebih berkualitas, lebih berbobot dan justru semakin  mengesensikan dunia Afrika dibanding dengan esensi akibat pengaruh dunia barat itu sendiri. Dengan kata lain pengaruh budaya barat bagi diri Okot p’Bitek justru menghasilkan tulisan yang hasil akhirnya  justru bisa lebih menonjolkan roh Afrika-nya. Ini bisa kita lihat dari karya-karya matangnya yang sudah tidak asing lagi bagi dunia sastra antara lain : “Song of Lawino (1966)” dan dilanjutkan dengan “Song of Ocol (1970)”. Dan sudah banyak yang mengakui  dan menjadikan bahan kajian untuk sastra dan budaya, karena nilai seni dengan warna budaya yang kental yang dikandung terutama dalam buku “Song of Lawino”.

Para peminat sastra di Indonesia beruntung bisa mendapatkan terjemahan dua buku koleksi di atas yang digabung dalam satu buku. Barangkali kita tidak akan menemukan esensi sejati dari sajak ini kecuali kita mengerti bahasa, sastra dan kebudayaan Afrika. Karena memang setiap sastra yang diterjemahkan, tentu nilai-nilai instristik seperti yang diharapkan pengarangnya sulit tercapai, sehebat apapun penterjemahnya. Namun meskipun sudah melewati dua saringan yaitu dari bahasa Lwo (Afrika) ke bahasa Inggris, lalu dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, tapi untunglah buku “Nyanyian Lawino” ini diterjemahkan oleh ahli yang sudah berpengalaman, yaitu Sapardi Djoko Damono yang dengan sangat hati-hati dalam segala hal termasuk dalam pemilihan kata, sehingga sedikit banyaknya jiwa kita bisa merasakan roh aslinya (Sastra Afrika) dalam setiap bait-bait yang diterjemahkan. Ini lebih memudahkan kita daripada harus belajar bahasa Lwo untuk menyelami jiwa seni sastrawan Afrika itu. Untuk  Buku “Nyanyian Ocol”, Okot p’Bitek langsung menggunakan bahasa Inggris, jadi bukan bahasa Lwo. Judul buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah Afrika Yang Resah : Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1988.

Persoalan yang dibahas sekilas kelihatan kecil, yaitu persoalan yang timbul di antara  dua sosok yang bernama Lawino dan Ocol. Namun hakikat yang ditemukan dalam persoalan yang kelihatan kecil itu adalah gambaran dari persoalan besar sebuah negara yang baru saja lepas dari penjajahan Barat yaitu persoalan sosial, budaya, ekonomi, politik, agama dsb.

Dengan buku ini kita diajak melihat rantai persoalan kompleks, melingkupi semua unsur  melalui  sudut pandang dari dasar hati yang paling dalam, yang sederhana dan lugu.

sebagai contoh jiwa Afrika dalam banyangan pengaruh Barat, dilukiskan oleh jiwa yang tulus, lugu dan sederhana adalah terlihat dari baris  kata  si Lawino yang protes pada suaminya si Ocol :

Aku sangat takut akan kompor listrik,
……………………
Siapa pula yang masak sambil berdiri?
…………………..
Dan kompor itu banyak matanya,
Mata mana yang harus dipencet
Sehingga api disemburkan …………………….

Ada banyak rangkaian kata memikat dari sastrawan Afrika ini. Bagi yang menyenangi budaya, sosiologi dengan unsur sastranya, maka sungguh nikmat membaca sajak-sajak ini sambil mengarungkan jiwa ke dunia Afrika sana. Rasanya sulit mengalami kebosanan membaca buku ini meski sudah dilakukan berulang-ulang.

Secara singkat, buku sajak bertema politik, social, budaya ini merupakan salah satu buku sastra yang punya nilai koleksi tinggi, karena selain dikarang oleh ahli sasta yang sangat terkenal dan berpengaruh di  Afrika, juga karena nilai isi buku ini patut diapresiasi dengan positif. Bersinggungan dengan masa peralihan di mana suatu negara baru saja lepas dari kekuasaan penjajahan Barat tentulah merupakan  suatu moment yang tepat bagi terciptanya sebuah karya sastra berbobot, pada keadaaan ini, setiap buah karya sastra biasanya unsur budaya asli berusaha keras menyeruak kepermukaan namun dibayangi penuh oleh  pengaruh luar yang amat kuat. Salah satu hasilnya yang luar biasa adalah karya Okot p’Bitek ini.

(PiS 9 Juli 2011, dari catatan lama)
From : www.Maryati.net

In English : Restless Afrika

Luka-Luka Hati :

Leave a comment

Top Rated