Daun Hijau Menggapai Senja

Sebaiknya aku bersiap-siap pulang, senja dan awan hitam mulai menelan kehijauan.

Di antara gulungan-gulungan kapas hitam itu, sesekali kilatan cahaya terlihat menyambar-nyambar menunjukkan geraknya yang maha cepat.

Begitu juga dengan suara menggelegar dari balik angkasa, mencoba menakuti makhluk-makhluk yang masih belum beranjak dari  bawah kehijauan.

Ya, sebaiknya aku pulang!

Dari Kumpulan catatan harian : “Dibawah Daun-daun Hijau”

Daun Hijau dan Matahari Yang Mulai Tenggelam (1)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam

Aku bisa melihat matahari berkaca di danau kecil yang pinggirnya ditumbuhi ilalang-ilalang hijau. Sekumpulan ilalang itu mulai menidurkan semangat ekspansinya, lemah seperti pasrah. Ya…, matahari punya kekuasaan untuk membuatnya tetap hijau atau menenggelamkan pigmennya menjadi kuning bahkan coklat meranggas.

Kali ini yang akan kukatakan bukanlah faktanya, hanya kelihatannya saja, bahwa warna seluruh daun-daun tampak mulai memudar menjadi hitam, meski mereka sebetulnya masih menggenggam warna hijau dalam jiwanya.

Andai aku masih punya kamera semi prof, tentu gradasi dari hijau ke hitam itu bisa kutangkap meski aku bukanlah fotographer.

Begitu juga cahaya matahari itu, harusnya indah bagai binar seorang bidadari yang pernah kukenal. Mungkin kau ingin juga mengenalnya bukan? Hmmm… gampang saja tatap saja selalu matahari yang baru terbit dan matahari yang mulai tenggelam, open your mind, maka di sana akan kau lihat mata bidadari yang akan memberimu semangat bekerja dan mata bidadari yang akan meninabobokkanmu dalam mimpi dan kerinduan.

 

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (2)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (2)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (4)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (4)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (5)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (5)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (6)

Daun Hijau dan matahari yang mulai tenggelam (6)

 

Daun Hijau dan Mari Makan Mie (1)

Daun Hijau dan mari makan mie

Tak banyak kegembiraan yang bisa kami dapatkan dibanding apa yang didapatkan oleh orang-orang kota di metropolitan sana. Tapi yang sedikit itu kadang sudah lebih daripada cukup daripada tidak ada sama sekali.

Tak ada listrik, tak ada mesin cuci, tak ada televisi, tak ada playstation atau barang-barang sejenisnya. Di kota barang-barang itu sudah termasuk kategori barang biasa. Tapi jangan tanya di sini, benda-benda itu kadang sering mampir hanya dalam mimpi saja.

Tapi hari ini kawan, mie yang kami masak dengan kayu bakar dan kuali hitam, ternyata mampu mengundang canda gurau dan tawa. Sementara itu, biarlah dulu anak-anak itu serius menikmati mienya.

“Nyam…. nyam… nyam…”, kata anak-anak
“Huah… ha… ha… ha…”, kata kami, demi melihat tingkah aneh mereka saat salah seorang dari kami diam-diam menggelitik kuping anak-anak itu dengan daun sawit hijau dari belakang pintu.

Dari Kumpulan Catatan Harian : “Dibawah Daun-daun Hijau”

Daun Hijau dan Dapur Orang Manda (1)

Daun hijau dan dapur orang mandaDaun hijau dan dapur orang manda

Seperti di atas itulah kondisi dapur orang manda. Di perkebunan kelapa sawit, “manda” ini biasanya diartikan sebagai tinggal sementara atau beberapa hari di sebuah perkebunan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan di perkebunan tersebut. Beras, cabe, bawang dan lauk berupa ikan asin di beli di pasar lalu di bawa kelahan. Sayur bisa diambil dari daun-daunan hijau yang ada dilahan, atau minta dari tetangga lahan. Kalau ada waktu ikan juga bisa ditangkap di sungai kecil atau biasa disebut kanal.

Pekerjaan untuk manda ini antara lain adalah

  • menyemprot gulma, untuk yang luasnya puluhan hektar, biasanya memerlukan waktu yang agak lama. Yang pernah saya tahu untuk 2o hektar dengan tenaga 2 orang selesai satu minggu dengan bayaran per hektar 800 ribu rupiah.
  • memiringi
  • membuat jalan (pasar)
  • menunas, membuang pelepah/daun yang sudah tua, kuning atau membusuk agar pohon menjadi sehat dan tidak kelihatan meranggas. Lahan yang sudah selesai ditunas biasanya tampak hijau dan memberi semangat.

Aku mengenal beberapa teman yang dari dulu pekerjaannya adalah borongan, dia biasanya manda dari suatu tempat ke tempat lain, bahkan antar kota. Jika sedang tidak ada pekerjaan, mereka biasanya pulang kampung. Menunggu panggilan sms dari teman-temannya yang sudah menetap atau bayar bulanan.

Setelah pekerjaan borongan selesai baru mereka mendapat bayaran lalu pulang untuk menunggu job berikutnya.

Ngomong-ngomong perutku sudah keroncongan, temankupun sudah selesai masak, ada yang mau ikut makan hasil dari operasi dapur ini?!
Mari… mari… :)

Panen Yang Mendebarkan di Sisi Harga Buah Sawit yang Naik Terus

Catatan Harian 04 Desember 2013

Harga tandan buah segar (TBS) Sawit menunjukkan trend naik terus. Hari inipun begitu. Buah hasil panen hari ini dihargai Rp. 1640 /Kg.

Selama panen tiga hari ini badan rasanya cukup letih. Hujan deras, jalan-jalan mulai rusak, semakin hari semakin parah, becek, licin karena tergerus derasnya air dari atas bukit.

Beberapa pemanen sudah ada yang mulai demam dan batuk. Satu dua orang yang diundang untuk manen ada yang istirahat sementara hingga badan pulih kembali.

Panen hari ini tantangan cukup mendebarkan juga. Jalan cukup licin, mobil tidak bisa mendaki, meskipun gardan 2 sudah dipasang. Ban belakang selalu terselip ke arah bibir jurang. Setelah mencoba dua tiga kali, akhirnya saya memutuskan untuk mencari batu-batuan. Daripada harus menjalani resiko yang berat.

Batu-batu di serak di tempat-tempat licin. Voilaaaa…, mobil bisa mendaki dengan tenang. Hari ini panenpun bisa kami selesaikan tanpa ada insiden berarti selain daripada detak jantung dag dig dug plas….

Dan RAM langgananku ini cukup berbaik hati untuk tidak mengurangi persen pada buah yang agak basah kena gerimis. Perkilo dihargai Rp. 1640.

Sampai jumpa di cerita panen berikutnya. Malam… :)

Pikiran-pikiranmu Bebas, tapi Tak Boleh Mengganggu Pikiran-pikiranku

Catatan Harian 04 Desember 2013 – Kanker dan aku yang sedang berada di bawah daun-daun hijau

Pikiran-pikiranmu bebas, tapi tak boleh mengganggu pikiran-pikiranku. Mungkin terkesan sinis aku mengatakannya padamu. Tapi kau harus kuberitahu, mungkin menjelang usiaku yang tua begini, tak banyak lagi yang kuharapkan selain menerima apapun yang kudapatkan, tidak lagi mengharapkan kesenangan-kesenangan duniawi, lampu-lampu gemerlap metropolitan, rokok bermerek, bermain-main di tempat rekreasi, baju bagus, refreshing pantai, mancing, minum-minum (Jangan masukkan teh hangat atau secangkir kopi tentunya), shopping dsb. Kalaupun semua itu terpaksa kulakukan, itu demi kau,  bukan demi aku. Meski aku tak akan pernah menilai dirimu minus hanya karena itu.

Kau juga harus kuberitahu, sudah lama aku belajar untuk menerima bahwa bekerja harus kuanggap sebagai sebuah kesenangan, sebagai sebuah hobi, atau sebagai sebuah pengganti gemerlap-gemerlap yang sering menarik laron-laron hingga terjebak di balik kaca.

Maka itu kukatakan : “Pikiran-pikiranmu bebas, boleh kau ungkapkan kepadaku, namun kau jangan memaksa agar hal itu bisa mengganggu pikiran-pikiranku dan bersifat memaksa hanya karena aku skeptis akan hal itu. Karena untuk yang tidak kusuka aku berusaha untuk tidak marah, dan tidak suka balik memaksa, tetapi aku akan lebih suka memilih untuk pergi menyendiri berlinang ke dalam pekerjaan-pekerjaanku.”

Ah… kau, janganlah menghujatku. Percuma! Telingaku hanya terbuka pada suara-suara yang lagi susah, yang lagi sakit dan butuh nasehat kecil tentang sebuah kata kunci “Kanker”

Kau mungkin tidak akan takut dengan kata “kanker” itu, kau boleh saja berseloroh tentangnya sebagai sebuah kantong kering atau anekdot lainnya hingga kau kelak menghadapinya karena ia bernaung di dalam dirimu, dalam diri orang yang kau kasihi, dalam diri saudaramu atau dalam diri teman yang kau sayangi. Jika kau terpaku karenanya dan merasa berdenging di dengkulmu karena tak kuat menahan kekhawatiran, boleh-boleh saja kau berbicara dari hati ke  hati padaku, itupun kalau kau mau dan merasa belum ada yang lainnya yang lebih baik.

Untuk yang pertama, kau boleh mengajakku tertawa sembari aku tetap bekerja di bawah daun-daun hijau kelapa sawitku tanpa harus berhenti dan tanpa harus melap keringat. Namun untuk yang kedua, aku akan berhenti bekerja, sedaya upaya akan mencoba menenangkan diriku lalu menenangkan dirimu, mengingat apa yang pernah kupelajari dan kualami selama beberapa tahun tentang kanker sialan itu. Lalu mencoba memetik hikmah yang perlu dan berbagi kalau kau mau menerimanya. Kau boleh memilah, memakai yang kau perlu dan membuang yang kau tak suka. Mungkin kau akan bertanya dan aku berusaha menjawab. Mungkin pengetahuanku tentang itu masihlah cetek dibanding dokter-dokter ahli. Tentu saja itu benar, tapi aku memiliki waktu yang berlebih dibanding mereka, dan aku tak harus mengingat jarum jam atau memutar tombol-tombol waktu sejak pertama kali kita bicara tentang penyakit sialan itu lalu mengeluarkan billing. Tidak! Ini kulakukan karena akupun pernah sedikit terdamaikan oleh orang yang tidak kukenal waktu penyakit itu ada didepan mataku selama bertahun-tahun. Dia memberiku nasihat yang tidak kalah mahalnya dibanding yang diberikan oleh dokter walaupun hanya lewat sms dan hanya lewat dunia maya belaka. Waktu itu sudah kusadari bahwa pengetahuan dia tentang penyakit kanker itu sangatlah jauh dibanding dengan apa yang menjadi harapanku atas sejumlah pertanyaan yang bergayut di hati. Tapi kedamaian dan pengharapan tetaplah terkandung dalam kalimatnya dan itu hingga kini belumlah mampu kubayar dengan apapun selain daripada mencoba berbuat seperti yang pernah dilakukannya padaku.

Top Rated