Kutinggalkan kotamu dalam tikaman melankolis-melankolis
jemari kenangan terus saja deras mematahkan niat
menyobek dada lalu menarik jantung harapanku ke luar
menghentakku agar pasrah diam – buta mematung
“Jangan pergi!!” Kata kepal tanganku geram memukul dada
Tapi kaki batuku terus saja meruah langkah
Akhirnya….!
nafas pesawat melepas kotamu : Yogya…!!
tubuhku merapuh, terapung menuju awan-awan putih
awan tempat dulu mata kita berpadu dalam kasih
aku termati dalam bola mata beliak
ngilu tergetar menyerbu sumsum belulang
mengalir denyut dalam remuk sendi
terlayang habis jiwa di atas lekuk sungai
lalu rohku meliuk bersama ularan jalan di bawah sana
Hatiku masygulku tertinggal,
terpatri di hamparan hijau sawah
tempat dulu kita menabur bulir cinta
di antara titian, jalan setapak, debu-debu
batu-batu, rerumputan Godean
dan bibit padi yang baru disemai
Oh…, tidurmu
telah melekat di sumsumku
meruntuhkan segala harapan dan keinginan
membuat mimpiku meleleh di antara dingin ac
dan gemulai pramugari cantik yang tak menarik sama sekali
Selamat tinggal kotaku!
Selamat tinggal labuhan jiwaku!
Selamat tinggal tidur abadimu!
Ada sepotong doaku mengikatkanku padamu
penuh oleh rumbai-rumbai melankolis.
(PiS, Di dalam Air Plane, 27 Juli 2012)