Aku Tanpamu

Aku tanpamu adalah hening yang melenggang ke dalam malam. Aku tanpamu adalah sungai luka yang mengalir ke laut mayapada kematian.

Aku tanpamu adalah hening yang melenggang ke dalam malam

Aku tanpamu, mencoba menyanyi untuk meluapkan perasaanku. Perasaan yang selalu bergemuruh di dalam dada tanpa terbendung oleh tanggul tembok raksasa yang kubangun. Terserah pada yang bilang aku tak beriman, hanya demi melukaiku tanpa titik penghiburan. Aku sudah berteriak sekerasnya, sudah berlari sekencangnya sudah menangis sekuat yang kumampu, aku memukuli diriku sendiri, sudah melukai diriku dengan perasanku sendiri. Sudah kugelindingkan roda-rodaku hampir seratusan ribu kilometer jauhnya, sudah kularikan jiwaku dari kota ke kota, dari pelosok ke pelosok, dari gang ke gang. Aku bolak-balik menelusuri Pekan Baru, Dumai, Medan, Jakarta, Lampung, Semarang, Surabaya, berharap kerinduanku lunas terbayar dan rasa bersalahku lenyap menghilang tanpa bekas. Aku sudah terseok di pasir, sudah berpanas pada terik, sudah berbasah oleh hujan, dan kediningan di dinihari, mengerang akan sepi yang menyayat pagi, lapar dan haus menghujam nurani saat meniti jeruji waktu. Tapi tetaplah itu semua tak bermakna apa2 bagi sebuah kerinduan dan rasa kehilangan yang berkepanjangan. Aku tertimpa rasa bersalah tak berampun, tak mampu melindungi dan menyelamatkanmu dari sakitmu lalu meninggalkanku seorang diri dari dalam sunyi senyap di tingkap waktu. Semua cara sudah kulakukan untuk melupakanmu. Tapi semua jalan terjal, berliku, berbatu, berbeling, beranting tajam, berpasir kaca taklah memberikan sakit melebihi rasa perih dari kehilanganmu. Jadi selalu kucoba bernyanyi dan bernyanyi, menghindar waktu yang selalu mengalunkan sepi ke dalam diriku. Kini, datanglah kau dalam bayangmu semaumu, datanglah kapan saja, sampai kau bosan atau sampai aku mati. Meski orang tidak menyukainya tapi itulah mungkin takdirku.

(PiS, 21 May 2012, juga di http://www.Maryati.net)

Leave a comment

Top Rated